Subscribe:

Labels

Rabu, 25 Mei 2011

Kekerasan dalam Rumah Tangga

Pengertian kekerasan yaitu suatu perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain atau kepada dirinya sendiri yang dapat menimbulkan akibat – akibat negatif pada fisik dan psikis. Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) Kekerasan dimasukkan dalm pasal kejahatan.Pada pasal 89 disebutkan “yang disamakan melakukan kekerasan adalah membuat orang menjadi tak berdaya lagi(lemah)”.Kemudian dalam penjelasan tersebut disebutkan melakukan kekerasan artinya “menggunakan tenaga atau kekuatan atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah”.Misalnya memukul dengan tenaga atau senjata, menyepak atau menendang.
Konflik erat kaitannya dengan kekerasan, kita sebagai manusia paling tidak mempunyai anggapan dasar bahwa orang melakukan kekerasan atau beringas sebagai akibat dari rasa tidak puas karena merasa dirugikan kepentingannya. Disisi lain yang menimbulkan konflik adalah bagaimana uang berdaulat, sehingga yang mungkin bisa menjadi tidak mungkin dan yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin, sehingga dunia dibuat bingung dan atau bisa dibuat tidak bingung, serta bisa menjungkir-balikkan fakta, yang mana fakta sosial yang aman bisa menjadi tidak aman dan sebaliknya, kebenaran bisa menjadi kesalahan, serta uang juga menjadi sumber kedamaian yang berpotensi juga sebagai sumber konflik. Kekerasan didefinisikan secara sederhana sebagai bentuk tindakan yang melukai, membunuh, merusak, dan menghancurkan lingkungan.
Komnas Perempuan (2001) menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah segala tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan yang berakibat atau kecenderungan untuk mengakibatkan kerugian dan penderitaan fisik, seksual, maupun psikologis terhadap perempuan, baik perempuan dewasa atau anak perempuan dan remaja.  Termasuk didalamnya ancaman, pemaksaan maupun secara sengaja meng-kungkung kebebasan perempuan.  Tindakan kekerasan fisik, seksual, dan psikologis dapat terjadi dalam lingkungan keluarga atau masyarakat.
Tindakan kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk kekerasan yang seringkali terjadi pada perempuan dan terjadi di balik pintu tertutup.  Tindakan ini seringkali dikaitkan dengan penyiksaan baik fisik maupun psikis yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan yang dekat.
Kecenderungan tindak kekerasan dalam rumah tangga terjadinya karena faktor dukungan sosial dan kultur (budaya) dimana istri di persepsikan orang nomor dua dan bisa diperlakukan dengan cara apa saja. Hal ini muncul karena transformasi pengetahuan yang diperoleh dari masa lalu, istri harus nurut kata suami, bila istri mendebat suami, dipukul. Kultur di masyarakat suami lebih dominan pada istri, ada tindak kekerasan dalam rumah tangga dianggap masalah privasi, masyarakat tidak boleh ikut campur.
Isu penindasan terhadap wanita terus menerus menjadi perbincangan hangat. Salah  satunya adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Perjuangan penghapusan KDRT nyaring disuarakan organisasi, kelompok atau bahkan negara yang meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination of All Form of Discrimination/CEDAW) melalui Undang-undang No 7 tahun 1984. Juga berdasar Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dilahirkan PBB tanggal 20 Desember 1993 dan telah di artifikasi oleh pemerintah Indonesia. Bahkan di Indonesia telah disahkan Undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang ‘Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga’.
Perjuangan penghapusan KDRT berangkat dari fakta banyaknya kasus KDRT yang terjadi dengan korban mayoritas perempuan dan anak-anak. Hal ini berdasarkan sejumlah temuan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dari berbagai organisasi penyedia layanan korban kekerasan.
Pada tanggal 22 September 2004 perjuangan perempuan Indonesia, terutama yang tergabung dalam Jaringan Advokasi Kebijakan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Jangka-PKTP), yang merupakan gabungan LSM perempuan se-Indonesia, membuahkan hasil disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjadi UU.
Kelompok mencoba mengidentifikasikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yaitu :
a.       Faktor pembelaan atas kekuasaan laki-laki dimana laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
b.       Faktor  Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi, dimana diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi perempuan untuk bekerja mengakibatkan perempuan (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.
c.       Faktor beban pengasuhan anak dimana istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak.  Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga.
d.       Faktor wanita sebagai anak-anak, dimana konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita.  Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib,
e.       Faktor orientasi peradilan pidana pada laki-laki, dimana posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup.  Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga.
Penerapan sistem itu telah meluluh-lantakkan sendi-sendi kehidupan asasi manusia. Dari sisi ekonomi misalnya, sistem kapitalisme mengabaikan kesejahteraan seluruh umat manusia. Sistem ekonomi kapitalistik menitikberatkan pertumbuhan dan bukan pemerataan. Pembangunan negara yang diongkosi utang luar negeri, dan merajalelanya perilaku kolusi dan korupsi pada semua lini pemerintahan, telah meremukkan sendi-sendi perekonomian bangsa. Tak kurang 70% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Mereka tidak mampu menghidupi diri secara layak karena negara mengabaikan pemenuhan kebutuhan pokok mereka. Himpitan ekonomi inilah yang menjadi salah satu pemicu orang berbuat nekat melakukan kejahatan, termasuk munculnya KDRT. Banyak kasus KDRT menimpa keluarga miskin, dipicu ketidakpuasan dalam hal ekonomi.
Menurut pasal 11 UU PKDRT, pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga dan menurut pasal 12 ayat (1) menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang kekerasan dalam rumah tangga juga menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun, nyatanya, sosialisasi dan advokasi kekerasan dalam rumah tangga masih minim. Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui apalagi memahami UU PKDRT, bahkan di kalangan aparat penegak hukum masih timbul berbagai persepsi.
Sehubungan dengan banyak­nya hal baru dalam UU PKDRT yang tidak ditemukan dalam UU lain, seperti perlindungan sementara dan perintah perlindungan, juga adanya tindak pidana berupa jenis kekerasan lain di luar kekerasan fisik, diperlukan pendidikan dan pelatihan yang memadai bagi aparat penegak hukum dan pekerja sosial untuk menyamakan persepsi.  Di samping itu, diperlukan sosialisasi yang memadai bagi masyarakat luas, terutama bagi para pihak yang berpotensi melakukan KDRT, sebagai upaya pencegahan. Bagi pihak yang mungkin menjadi korban KDRT, sosialisasi perlu, agar bila terjadi KDRT, ia dapat memperbaiki nasibnya karena telah mengetahui hak-haknya.
Penegakan hukum UU PKDRT tidak akan terlepas dari penegakan hukum pada umumnya. Apabila negara tidak dapat menciptakan supremasi hukum, perlindungan yang diatur dalam UU PKDRT hanya akan berupa law in book (teori) belaka, sedangkan dalam law in action (praktik) akan sulit terwujud. Oleh karena itu, supremasi hukum harus ditegakkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abrar Ana Nadhya, Tamtari Wini. 2001.  Konstruksi Seksualitas Antara Hak dan Kekuasaan. Yogyakarta: UGM.
Arifin, Syamsul. 2009. Studi Agama: Perspektif Sosiologis dan Isu – isu Kontemporer. Malang: UMM Press.
Novri, Susan. 2010. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu – isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada.


Kekerasan dan Konflik

A.     Latar Belakang
Berbagai relasi antar manusia, antar kelompok, dan antar negara tidak pernah bersih dari muatan kepentingan, penguasaan, permusuhan, dan penindasan. Inilah kodrat sosial dalam sejarah hidup manusia. Timbulnya konflik dan kekerasan adalah berangkat dari kondisi kemajemukan struktur masyarakat. Konflik dan kekerasan merupakan fenomena yang sering terjadi dan merupakan sejarah yang telah ada sejak manusia ada dan akan terus ada hingga akhir dari kemanusiaan itu sendiri. Tanpa melihat faktor pemicu kecil maupun besar, yang jelas setiap faktor selalu dapat memicu pecahnya konflik dan kekerasan horisontal. Yang menjadi pertanyaannya, “mengapa masyarakat kita begitu mudah memulai kekerasan meski hanya berawal dari sebab yang sangat kecil?” Perkelahian anak kecil, lalu diikuti perkelahian orang tua, dan pada akhirnya menimbulkan konflik horisontal antar kelompok tertentu. Dan tidak jarang konflik ini menimbulkan kekerasan yang memakan korban jiwa dan materi yang tidak sedikit.
Sejarah kekerasan dan konflik telah ada sejak manusia ada dan akan terus ada hingga akhir dari kemanusiaan itu sendiri. Secara alamiah, manusia memang memiliki naluri untuk hidup bersama-sama dengan manusia lainnya. Dorongan mendasar yang melahirkan naluri untuk hidup bersama-sama itu adalah karena manusia harus memenuhi sebagian besar kebutuhan hidupnya yang sangat tidak mungkin akan dipenuhi, ketika manusia tidak hidup berkelompok. Sosiologi kemudian mengidentifikasi manusia yang berkelompok untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dan dorongan pemecahan kebutuhan hidup yang asasi itu sebagai masyarakat. Meskipun begitu, menyebut masyarakat bukan tidak mengandung problematika. Menyebut masyarakat, setidaknya ada dua asumsi yang muncul.
Asumsi pertama adalah sebuah komunitas yang terdiri dari orang-orang atau individu-individu. Karena sangat tidak mungkin akan terbentuk sebuah masyarakat ketika tidak ada orang-orang atau individu-individu. Tanpa sejumlah orang tertentu yang dapat disebut sebagai masyarakat, beberapa keluarga mungkin akan menjadi jumlah minimal yang dapat dianggap setiap orang sebagai jumlah yang mencukupi untuk membentuk sebuah masyarakat kecil. Tetapi sekumpulan orang saja tanpa memenuhi persyaratan tertentu tidak bisa disebut sebagai masyarakat. Untuk memenuhi syarat sebagai sebuah masyarakat, para individu harus berinteraksi dengan cara tertentu. Ketika orang tidak bisa berkomunikasi satu sama lain, atau ketika sekelompok orang selalu terlibat dalam pertempuran yang agresif dan tiada henti, sehingga interaksi yang mereka lakukan tidak lagi bersifat sosial, maka sebesar apapun individu yang berkelompok itu tidak dapat disebut sebagai masyarakat. Karena satu syarat mutlak yang mesti ada dalam sebuah masyarakat adalah hubungan sosial yang didefinisikan sebagai interaksi-interaksi yang bersifat teratur dan mencakup kesadaran timbal balik dan komunikasi simbolis. Singkat kata, menurut Hobbes, masyarakat adalah seperangkat cara bertingkah laku yang saling terkait yang sebelumnya telah ada, yang menyatu ke dalam tingkah laku dan psikologi manusia individual dan mengontrol semua masyarakat yang khas dan bersifat manusiawi dalam diri mereka.
Asumsi kedua adalah dalam sekelompok masyarakat yang terdiri atas orang-orang itu, dengan sendirinya merupakan susunan atau kumpulan dari sejumlah kepentingan, identitas dan dorongan yang berbeda. Idealnya, interaksi sosial di antara kepentingan, identitas dan dorongan yang berbeda itu akan melahirkan ketergantungan di antara masing-masing kelompok dalam masyarakat, sehingga, teoretis, sikap saling ketergantungan itu akan melahirkan harmoni. Tetapi, dalam kondisi semacam ini, harmoni justru seringkali susah dicapai. Kendala utamanya adalah ketika identitas, kepentingan dan dorongan yang berbeda itu bergesek satu sama lain untuk mendapat wilayah pengakuannya di tengah masyarakat. Ketika perang kepentingan itu terjadi, maka hampir dapat dipastikan bahwa konflik akan segera pecah.

B.     Evolusi Teori Sosiologi Konflik
Teori konflik muncul karena reaksi dari adanya teori fungsionalisme structural, sebenarnya apa yang dimaksudkan dengan teori konflik? Teori konflik adalah satu pandangan di dalam masyarakat sebagai satu sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda, dimana komponen ini saling menaklukkan satu sama lain untuk mendapatkan keuntungan bagi kepentingan diri sendiri maupun kelompok. Dan secara umum, para ilmuwan sosiologi konflik lahir dari konteks masyarakat yang mngalami pergeseran – pergeseran nilai dan struktural dinamika kekuasaan dalam suatu negara.
Teori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional. Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional. Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.
Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.
Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Pada waktu silam weber memperlihatkan konflik sebagai manifestasi tindakan manusia yang ingin meraih posisi – posisi dalam setiap stratifikasi sosial. Emile durkheim memberi analisis pada fakta sosial dan bunuh diri, dimana perkembangan konflik yang mengabaikan fakta – fakta konflik. Sedangkan Simmel dikategorikan sebagai pelopor sosiologi konflik melalui analisanya mengenai sosiasi dan fungsi konflik dalam masyarakat.

Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.

C.     Beberapa Pandangan Mengenai Peran Konflik
Ada pertentangan pendapat mengenai perbedaan pandangan terhadap peran konflik dalam organisasi yang disebut oleh robbin (1996: 431) sebagai the conflict paradoks, yaitu pandangan bahwa di sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisasikan konflik. Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian, antara lain:
1.       Pandangan tradisional (the traditional view). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Konflik ini merupakan suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan di antara orang – orang, dan kegagalaan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.
2.       Pandangan hubungan manusia (the human relation view. Pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam kelompok atau organisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari karena di dalam kelompok atau organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota. Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata lain, konflik harus dijadikan sebagai motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok atau organisasi.
3.       Pandangan interaksionis (the interactionist view). Pandangan ini cenderung mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya konflik. Hal ini disebabkan suatu organisasi yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga tiap anggota di dalam kelompok tersebut tetap semangat, kritis – diri, dan kreatif.
Stoner dan freeman (1989:392) membagi pandangan menjadi dua bagian, yaitu pandangan tradisional (old view) dan pandangan modern (current view):
1.      Pandangan tradisional. Pandangan tradisional menganggap bahwa konflik dapat dihindari. Hal ini disebabkan konflik dapat mengacaukan organisasi dan mencegah pencapaian tujuan yang optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan yang optimal, konflik harus dihilangkan. Konflik biasanya disebabkan oleh kesalahan manajer dalam merancang dan memimpin organisasi. Dikarenakan kesalahan ini, manajer sebagai pihak manajemen bertugas meminimalisasikan konflik.
2.      Pandangan modern. Konflik tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan banyak faktor, antara lain struktur organisasi, perbedaan tujuan, persepsi, nilai – nilai, dan sebagainya. Konflik dapat mengurangi kinerja organisasi dalam berbagai tingkatan. Jika terjadi konflik, manajer sebagai pihak manajemen bertugas mengelola konflik sehingga tercipta kinerja yang optimal untuk mencapai tujuan bersama.
Selain pandangan menurut robbin dan stoner dan freeman, konflik dipahami berdasarkan dua sudut pandang, yaitu: tradisional dan kontemporer (myers, 1993:234)
1.         Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang harus dihindari. Pandangan ini sangat menghindari adanya konflik karena dinilai sebagai faktor penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Bahkan seringkali konflik dikaitkan dengan kemarahan, agresivitas, dan pertentangan baik secara fisik maupun dengan kata-kata kasar. Apabila telah terjadi konflik, pasti akan menimbulkan sikap emosi dari tiap orang di kelompok atau organisasi itu sehingga akan menimbulkan konflik yang lebih besar. Oleh karena itu, menurut pandangan tradisional, konflik haruslah dihindari.
2.         Pandangan kontemporer mengenai konflik didasarkan pada anggapan bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis interaksi manusia. Namun, yang menjadi persoalan adalah bukan bagaimana meredam konflik, tapi bagaimana menanganinya secara tepat sehingga tidak merusak hubungan antarpribadi bahkan merusak tujuan organisasi. Konflik dianggap sebagai suatu hal yang wajar di dalam organisasi. Konflik bukan dijadikan suatu hal yang destruktif, melainkan harus dijadikan suatu hal konstruktif untuk membangun organisasi tersebut, misalnnya bagaimana cara peningkatan kinerja organisasi.
Berdasarkan penjabaran pandangan - pandangan di atas, ada dua hal penting yang bisa disorot mengenai konflik:
1.         Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita harus mengetahui kemampuan dan perilaku komunikasi. Semua konflik mengandung komunikasi, tapi tidak semua konflik berakar pada komunikasi yang buruk. Menurut myers, jika komunikasi adalah suatu proses transaksi yang berupaya mempertemukan perbedaan individu secara bersama-sama untuk mencari kesamaan makna, maka dalam proses itu, pasti ada konflik (1982: 234). Konflik pun tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan, yang mengekspresikan pertentangan (stewart & logan, 1993:341). Konflik tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya saling baku hantam antara dua pihak yang berseteru, tetapi juga diidentifikasikan sebagai ‘perang dingin’ antara dua pihak karena tidak diekspresikan langsung melalui kata – kata yang mengandung amarah.
2.         Konflik tidak selamanya berkonotasi buruk, tapi bisa menjadi sumber pengalaman positif (stewart & logan, 1993:342). Hal ini dimaksudkan bahwa konflik dapat menjadi sarana pembelajaran dalam memanajemen suatu kelompok atau organisasi. Konflik tidak selamanya membawa dampak buruk, tetapi juga memberikan pelajaran dan hikmah di balik adanya perseteruan pihak – pihak yang terkait. Pelajaran itu dapat berupa bagaimana cara menghindari konflik yang sama supaya tidak terulang kembali di masa yang akan datang dan bagaimana cara mengatasi konflik yang sama apabila sewaktu – waktu terjadi kembali.
Faktor penyebab konflik
·         Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
·         Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
·         Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
·         Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
Jenis-jenis konflik
·         Konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role))
·         Konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
·         Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
·         Konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara)
·         Konflik antar atau tidak antar agama
·         Konflik antar politik.
Akibat konflik
·         Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :
·         Meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
·         Keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
·         Perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dll.
·         Kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
·         Dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Contoh konflik

ANALISIS DAMPAK PRAGMATIS
Teori – teori  sosiologi konflik memberi pengaruh besar terhadap berbagai pendekatan analisis konflik multidisipliner. Sosiologi konflik struktural, sepert pemikiran Dahrendorf dan Coser mempengaruhi pendekatan kajian konflik, terutama yang disebut sebagai pendekatan primordial dan instrumental. Sedangkan sosiologi konstruksi sosial konflik dan interaksionisme simboik mempengaruhi pendekatan konstruksi sosial. Pada sub bab ini akan dipaparkan analisa konflik pragmatis yang meliputi teknik pemetaan konflik, jenis dan tipe konflik, dinamika dan intervensi konflik. Analisa konflik pragmatis merupakan alat analisis sederhana untuk menganalisa konflik secara umum. Perspektif analisis dapat dimasukkan di dalannya sesuai dengan kepentingan peneliti.
1.       Pemetaan konflik
Langkah penting dalam analisis konflik pragmatis adalah pemetaan konflik. Menurut Fisher pemetaan konflik meliputi pemetaan pihak berkonflik dan berbagai aspirasi dari pihak – pihak yang ada. Pemetaan merupakan suatu teknik yang digunakan untuk menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan pihak – pihak dengan masalah dan dengan pihak lainnya. Ketika masyarakat yang memiliki berbagai sudut pandang berbeda memetakan situasi mereka secara bersama, mereka saling mempelajari pengalaman dan pandangan masing – masing. (Fisher 2001:22)
Pemetaan konflik juga merupakan metode menghadirkan analisis terstruktur terhadap konflik tertentu pada waktu tertentu pula. Metode memberikan gambaran singkat tentang pandangan mereka terhadap situasi konflik, dan juga digunakan dalam workshop penyelesaian konflik untuk memberikan pada para pesertanya sebuah gambaran konflik yang sedang diamati. Setiap konteks masyarakat dengan berbagai tipe konflik yang ada, seperti tipe realistis atau nonrealistic, akan menghasilkan pemetaan yang berbeda – beda. Pada masyarakat tertentu akan terhasilkan satu pemetaan yang sederhana, sedangkan pada masyarakat yang lain bisa saja tergambarkan peta konflik yang begitu kompleks.
Satu model pemetaan konflik multidisipliner dikembangkan oleh sosiolog dari United Nations-University for Peace, Amr Abdalla, yaitu model SIPABIO (2002). SIPABIO adalah:
a.       Source (sumber konflik). Konflik disebabkan oleh sumber – sumber yang berbeda sehingga melahirkan tipe – tipe konflik yang berbeda. Jika kita kembali pada analisis sosiologi konflik, berbagai sumber konflik tersebut bisa muncul dari model hubungan sosial (analisis konstruksi sosial), nilai –nilai seperti identitas dan agama (analisis Coser), dan dominasi structural (analisis structural positivis dan kritis).
b.       Issues (isu-isu). Isu menunjuk pada saling keterkaitan tujuan – tujuan yang tidak sejalan di antara pihak bertikai. Isu ini dikembangkan oleh semua pihak bertikai dan pihak lain yang tidak teridentifikasi tentang sumber – sember konflik.
c.       Parties (pihak). Pihak berkonflik adalah kelompok yang berpartisipasi dalam konflik baik pihak konflk tama yang langsung berhubungan dengan kepentingan, pihak sekunder yang tidak secara langsung berhubungan dengan kepentingan, dan pihak tersier yang tidak berhubungan dengan kepentingan konflik. Pihak tersier ini yang sering dijadikan sebagai pihak netral untuk mengintervensi konflik.
d.       Attitudes / felling (sikap). Sikap adalah perasaan dan persepsi yang mempengaruhi pola perilaku konflik. Sikap bisa muncul dalam bentuk yang positif dan negative bagi konflik.
e.       Behavior (perilaku / tindakan). Perilaku adalah aspek tindak sosial dari pihak berkonflik, baik muncul dalam bentuk coercive action dan noncoercive action.
f.        Intervention (campur tangan pihak lain). Intervesi adalah tindakan sosial dari pihak netral yang ditujukan untuk membantu hubungan konflik menemukan penyelesaian.
g.       Outcome (hasil akhir). Outcome adalah dampak dari berbagai tindakan pihak – pihak berkonflik dalam bentuk situasi.
2.       Jenis dan Tipe Konflik
Ada dua jenis konflik, pertama dimensi vertical atau “konflik atas”.  Yang dimaksud adalah konflik antara elite dan massa (rakyat).  Hal yang menonjol dalam konflik ini adalah digunakannya instrumen kekerasan negara, sehingga timbul korban dikalangan massa (rakyat). Yang kedua, konflik horizontal, yakni konflik yang terjadi dikalangan massa (rakyat) sendiri. Dalam kurun lima tahun terakhir (sejak pertengahan 90an), dirasakan setidak –tidaknya ada dua jenis konflik horizontal, yang tergolong besar pengaruhnya:
·         Konflik antar agama. Konflik jenis ini mengemuka di berbagai daerah seperti Ambon, Jakarta, dan berbagai daerah di Indonesia.
·         Konflik antar suku, khususnya antara suku Jawa dan suku – suku lain di luar Pulau Jawa.
Tipe – tipe konflik terdiri dari:
·         Tanpa konflik menggambarkan situasi yang relatif stabil, hubungan – hubungan antar kelompok bisa sling memenuhi dan damai. Tipe ini bukan berarti tidak ada konflik berarti dalam masyarakat, akan tetapi ada beberapa kemungkinan atas situasi ini.
·         Konflik laten adalah suatu keadaan yang di dalamnya terdapat banyak persoalan, sifatnya tersembunyi dan perludiangkat ke permukaan lagi agar bisa ditangani. Kehidupan masyarakat yang tampak stabil dan harmonis belum merupakan jaminan bahwa di dalam masyarakat tidak terdapat permusuhan dan pertentangan. 
·         Konflik terbuka adalah situasi ketika konflik sosial telah muncul ke permukaan yang berakar dalam dan sangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar pentebab dari berbagai efeknya.
·         Konfik di permukaan adalah konflik yang memiliki akar dangkal atau tidak berakar dan muculnya hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran, yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi (dialog terbuka). Contoh dari konflik di permukaan ini bisa kita lihat perkelahian antar SMA. Konflik kekerasan yang muncul seringkali hanya disebabkan oleh kesalahpahaman komunikasi. Saling melirik ketika mereka berpapasan di jalan bisa menjadi permasalahan yang berkembang ke tawuran massal.
3.       Dinamika dan intervensi konflik
Langkah selanjutnya setelah pemetaan konflik adalah menganalisis dinamika konflik. Kunci memahami dinamika konflik pertama adalah dengan melihat pada sumber konflik, yaitu dengan segala sesuatu yang menjadi inti masalah; seperti sumber daya alam, perbedaan tafsir agama, atau etnis. Kemudian setelah melihat sumber konflik kita perlu menganalisis karakter hubungan (relationship) di antara berbagai pihak berkonflik. Karakter hubungan konflik ini bisa memanfaatkan beberapa perspektif sosiologi konflik, baik positiv, kritis, dan humanis. Secara umum, ketiga mazhab sosiologi konflik mengacu pada hubungan kekuasaan guna melihat dinamika konflik. Pada setiap kasus tertentu memiliki hubungan kekuasaan yang berbeda. Sehingga menjadi penting bagi seorang analisis konflik melihat model hubungan kekuasaan yang ada. Seperti pihak A adalah pekerja dari pihak B, atau pihak B adalah organisasi pemeritah dan pihak A adalah warga. Melalui analisis model hubungan kekuasaan ini akan diperoleh model tindakan yang muncul, apakah coercive action atau noncoercive action.

Sedangkan menurut Fisher tahapan dinamika konflik meliputi:
a.       Pra konflik, adalah periode pada saat terdapat suatu ketidaksesuaian sasaran di antara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Konflik tersembunyi dari pandangan umum, meskipun satu pihak atau lebih mungkin mengetahui proses terjadinya konfrontasi. Mungkin terdapat ketegangan hubungan di antara beberapa pihak dan / atau keinginan untuk menghindari kontak satu sama lain pada tahap ini.
b.       Konfrontasi, memperlihatkan satu tahap pada saat konflik mulai terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya.
c.       Krisis, adalah puncak dari konflik. Tahap ketika konflik pecah menjadi bentuk aksi – aksi kekerasan yang dilakukan secara intens dan massal. Konflik skala besar, ini merupakan periode perang, ketika orang – orang dari kedua pihak terbunuh. Akibat menunjukkan pada situasi yang disebabkan oleh pecahnya konflik pada tahap krisis. Bisa jadi salah satu pihak menang peperangan, atau kalah dan bahkan keduanya mengalami kekalahan bersama. Situasi ini sangat tergantung pada proses penanganan konflik. Jika kedua pihak mampu melakukan negosiasi dan menggunakan strategi pemecahan masalah kemungkinan situasi yang dihasilkan cukup positif dan mengurangi jumlah kerugian bersama. Pada kasus strategi contending yang menghasilkan penerapan hasil kalah menyebabkan kerugian yang besar. Pada tahap ini tingkat kekerasan menurun disertai menurunnya berbagai bentuk konfrontasi pihak – pihak berkonflik, ditariknya kekuatan – kekuatan bersenjata, munculnya inisiatif resolusi konflik.
d.       Pasca konflik, adalah situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke lebih normal di antara kedua belah pihak.
Ada beberapa bentuk dan tingkatan intervensi konflik:
·         Peace making (menciptakan perdamaian) yang bisas muncul dalam bentuk intervensi militer. Dinamika konflik biasanya berada pada puncak eskalasi yang ditandai oleh reproduksi aksi kekerasan, mobilisasi massa, dan tidak adanya komitmen menghentikan konflik kekerasan.
·         Peace keeping (menjaga perdamaian) yang juga muncul dalam bentuk intervensi militer agar pihak yang sudah tidak bertikai tidak kembali melakukan aksi kekerasan. Pada tingkatan ini pihak bertikai tidak melakukan aksi kekerasan bukan dilandasi oleh pemecahan masalah, namun akibat melemahnya atau habisnya sumber daya bertempur.
·         Conflict management (pengelolaan konflik) yang mulai menciptakan berbagai usaha pemecahan masalah dengan melibatkan berbagai pihak untuk mencari pemecahan masalah. Beberapa tindakan pengelolaan konflik ini bisa dalam bentuk negosiasi, mediasi, penyelesaian jalur hukum, arbitrasi, dan workshop pemecahan masalah.
·         Peace building (pembangunan kedamaian) yang merupakan proses peningkatan kesejahteraan, pembangunan infrastruktur, dan rekonsiliasi seluruh pihak bertikai.
Pengertian Kekerasan
Suatu perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain atau kepada dirinya sendiri yang dapat menimbulkan akibat – akibat negatif pada fisik dan psikis.Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) Kekerasan dimasukkan dalm pasal kejahatan.Pada pasal 89 disebutkan “yang disamakan melakukan kekerasan adalah membuat orang menjadi tak berdaya lagi(lemah)”.Kemudian dalam penjelasan tersebut disebutkan melakukan kekerasan artinya “menggunakan tenaga atau kekuatan atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah”.Misalnya memukul dengan tenaga atau senjata, menyepak atau menendang.
Jenis Kekerasan
·         Kekerasan langsung : tindakan yang menyerang fisik atau psikologis seseorang secara langsung.Kekerasan ini termasuk dalam kategori pembunuhan,seperti pemusnahan etnis, kejahatan perang,pembunahan masal, danjuga  semua bentuk tindakan paksa atau brutal yang menyebabkan penderitaan fisik atau  psikologis seseorang.
·         Kekerasan tidak langsung : tindakan yng membahayakan manusia bahkan sampai membunuh,namun tidak melibatkan  hubungan langsung antara korban dengan pihak (seseorang,masyarakat ,atau institusi)yng bertanggung jawab atas tindak kekerasan tersebut.Di sini terdapat dua sub kategori yaitu kekerasan karena kelalaian(violence by omission) dan  kekerasan perantara(mediated violence).Violence of omission digabarkan dengan seseorang yang dalam keadaan bahaya dan tidak ada yang menolongnya. Contoh, ketika seseorang menderita kelaparan bukan karena tidak adanya makanan,namun karena adanya alasan –alasan sosial politis. Oleh karena itu ia dapat danggap sebagai korban kekerasan sosial. Mediated violence adalah hasil dari interveni manusia secara sengaj terhadap lingkungan alam atau sosial yang membawa pengaruh secara tidak langsung pda manusia lain.
·         Kekerasan represif  : Kekerasan yang berkaitan dengan pencabutan hak – hak dasar selain hak untuk hidup dan hak untuk terlindungi dari kecelakaan.kekerasan ini terkait dengan tiga hak dasar,yaitu hak sipil,hak politik,dan hak sosial
·         Kekerasan Alienatif : Kekerasan yang menunjuk pda pencabutanhak – hak individu yang lebih tinggi,misalnya  perkembangan emosional, budaya, dan intelektual.

Perbedaan Konflik dengan kekerasan
No
Konflik
No
Kekerasan
1
Dilihat dari sikap atau tindakan,konflik masih pada taraf perbedaan pendapat,belum sampai pada tindak kekerasan
1
Sikap dan tindakannya sudahmelewati batas – batas petentangndan perbedaan sehingga terjadi kekerasan. Bisa jadi merupakan tindakan kejahatan.
2
Dilihat dari norma – norma,kedua pihak masih mematuhi norma – norma hukum
2
Salah stu atau kedua belah pihak melanggar norma sehingga mengakibatkan pihak lain menderita bahkan dapat menimbulkan korban
3
Banyak cara atau penyelesaiannya sehingga tidak harus diselesaikan dengan cara kekerasan
3
Caranya sangat tidak manusiawi karena mengannggap kekerasan merupakan satu – satunya cara yang harus dilakukan dalam menyelesaikan masalah
4
Konflik tidak arus membuat salah satu pihak cidera,cacat,atau meninggal dunia
4
Kekerasan bisanya membuat pihak lawan secara fisik menjadi sakit,cacat,bahkan meninggal dunia

CHILDREN SEXUAL ABUSE : KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK
Kekerasan seksual pada anak sering muncul dalam berbagai kondisi dan lingkup sosial.
  • Kekerasan seksual dalam keluarga (Intrafamilial abuse). Mencakup kekerasan seksual yang dilakukan dalam keluarga inti atau majemuk, dan dapat melibatkan teman dari anggota keluarga, atau orang yang tinggal bersama dengan keluarga tersebut, atau kenalan dekat dengan sepengetahuan keluarga. Kekerasan pada anak adopsi ataupun anak tiri juga termasuk dalam lingukup ini.
  • Kekerasan seksual di luar keluarga (Extrafamilial abuse). Mencakup kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa yang kenal dengan anak tersebut dari berbagai sumber, seperti tetangga, teman, orangtua dari teman sekolah.
  • Ritualistic abuse
  • Institutional abuse.Kekerasan seksual dalam lingkup institusi tertentu seperti sekolah, tempat penitipan anak, kamp berlibur, seperti kegiatan pramuka, dan organisasi lainnya.
Kekerasan seksual oleh orang yang tidak dikenal (Street or stranger abuse).Penyerangan pada anak-anak di tempat-tempat umum



Konsep Konflik
Timbulnya konflik adalah berangkat dari kondisi kemajemukan struktur masyarakat. Konflik merupakan fenomena yang sering terjadi.
Weber (Coser dalam David L. Sills 1968:232) berpendapat “bahwa konflik tidak dapat dielakkan dalam masyarakat.
Masyarakat dipandang sebagai struktur sosial yang mana mencakup proses-proses asosiatif dan disosiatif yang hanya bisa dibedakan secara analisis.

Menurut Gamble (1984:261) :
Konflik merupakan bentrokan sikap-sikap, pendapat-pendapat, perilaku-perilaku, tujuan-tujan dan kebutuhan-kebutuhan yang bertentangan” (Verderber, 1978:123) termasuk juga “perbedaan asumsi, keyakinan dan nilai”  (Hamidi, 1995:25).
Deutch (1973), dan dalam Berger (1987: 485), dalam Hamidi (1995), mengatakan bahwa konflik itu akan muncul apabila ada beberapa aktivitas yang saling bertentangan. Bertentangan itu adalah apabila tindakan tersebut bersifat mencegah, menghalangi, mencampuri, menyakiti atau membuat tindakan atau aktivitas orang lain menjadi tidak atau kurang berarti maupun kurang efektif.

Lima sumber penyebab konflik :
  1. Kompetisi
Satu pihak berupaya meraih sesuatu dengan mengorbankan pihak lain.
  1. Dominasi
Satu pihak berusaha mengatur yang lain sehingga merasa haknya dibatasi dan dilanggar.
  1. Kegagalan
Menyalahkan pihak tertentu bila terjadi kegagalan pencapaian tujuan.
  1. Produksi
Satu pihak sering menyinggung pihak yang lain.
  1. Perbedaan nilai
Terdapat patokan yang berbeda dalam menerapkan benar salahnya suatu masalah.

Didalam teori makrososiologi tentang teori konflik, Dahrendorf mempunyai gambaran mengenai asumsi-asumsi utama teor konflik, yaitu :
  1. Semua masyarakat tunduk pada proses perubahan dan perubahan ada dimana-mana
  2. Disensus dan konflik terdapat dimana-mana
  3. Setiap unsur masyarakat memberikan sumbangan pada disintegrasi dan perubahan masyarakat
  4. Setiap masyarakat didasarkan pada paksaan beberapa orang anggota terhadap anggota lain.
Menurut Kusnadi (2002), dilihat dari prosesnya, konflik itu paling tidak ada dua tahapan, yaitu :
  1. Tahap disorganisasi
Banyak salah paham, norma mulai tidak dipatuhi, anggota banyak yang menyimpang, sanksi lemah.
  1. Tahap disintegrasi
Timbul emosi (rasa benci), suka marah (ingin memusnahkan), ingin menyerang.
Dikatakan Kusnadi bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya konflik, antara lain:
  1. Adanya perbedaan dalam berbagai aspek
  2. Adanya bentrokan kepentingan
  3. Adanya perubahan sosial yang tidak merata
Kemudian penyelesaian konflik yang ditawarkan, antara lain :
  1. Kompromi
  2. Toleransi
  3. Konversi
  4. Arbitrage
  5. Mediation
  6. Stalemate
  7. Coercion
Konflik erat kaitannya dengan kekerasan, kita sebagai manusia paling tidak mempunyai anggapan dasar bahwa orang melakukan kekerasan atau beringas sebagai akibat dari rasa tidak puas karena merasa dirugikan kepentingannya.
Disisi lain yang menimbulkan konflik adalah bagaimana uang berdaulat, sehingga yang mungkin bisa menjadi tidak mungkin dan yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin, sehingga dunia dibuat bingung dan atau bisa dibuat tidak bingung, serta bisa menjungkir-balikkan fakta, yang mana fakta sosial yang aman bisa menjadi tidak aman dan sebaliknya, kebenaran bisa menjadi kesalahan, serta uang juga menjadi sumber kedamaian yang berpotensi juga sebagai sumber konflik.
Konflik dalam sorotan Karl Marx adalah :
Uang adalah alat dan kekuasaan eksternal dan universal (bukan berasal dari manusia sebagai manusia atau dari masyarakat manusia sebagai manusia) untuk mengubah representasi menjadi realitas dan realitas menjadi hanya representasi.
Makanya, uang tampak sebagai sebuah kekuasaan yang menggangu individu dan ikatan-ikatan sosia, yang mengklaim menjadi entitas yang mandiri. Uang mengubah kesetiaan menjadi pengkhianatan, cinta menjadi benci, benci menjadi cinta, kebenaran menjadi kesalahan, kesalahan menjadi kebenaran, pembantu menjadi majikan, kebodohan menjadi kecerdasan.
Sejak uang menjadi konsep nilai yang hidup dan aktif, mengacaukan dan menukar segalanya, uang menjadi kebingungan dan transposisi universal dari segalanya, dunia yang terbalik, kebingungan dan transposisis dari semua kualitas alam dan manusia (Erich Fromm, 2001: 219,220).
Sebagaimana kita ketahui bahwa konflik itu ada secara tidak kekerasan dan ada pula dengan cara kekerasan, kekerasan secara umum menurut Kadish (1983) dalam Nitibaskara (2001), kekerasan itu adalah menunjuk pada semua tingkah laku yang mana bertentangan dengan undang-undang, baik berupa sekedar ancaman saja maupun sudah merupakan suatu tindakan nyata yang mengakibatkan berupa kerusakan terhadap harta benda, fisik ataupun mengakibatkan kematian pada seseorang atau pada banyak orang.
Kekerasan itu sendiri ada yang dilakukan secara individu dan ada pula yang dilakukan secara kolektif. Menurut Tilly (1966) dalam Nitibaskara (2001: 204-205), membedakan ke dalam tiga kategori kekerasan kolektif, yaitu :
  1. Kekerasan kolektif primitif
Yang mana pada umumnya bersifat non politis. Kekerasan hanya terjadi relatif pada ruang lingkup yang terbatas pada suatu komunitas lokal saja.
Contoh : pengeroyokan dalam bentuk pemukulan atau penganiyaan terhadap pencopet yang tertangkap tangan.


  1. Kekerasan kolektif reaksioner
Yang mana pada umumnya merupakan reaksi terhadap penguasa. Pelakunya dan pendukungnya tidaklah semata-mata berasal dari suatu komunitas lokal, melainkan siapa saja yang merasa berkepentingan dengan tujuan kolektif yang menentang suatu kebijakan atau sistem yang dianggap tidak adil dan tidak jujur.
Contoh : Perlakuan petugas Satpol PP yang dianggap semena-mena terhadap  
               para pedagang.
  1. Kekerasan kolektif modern
Yang mana kekerasan ini pada umumnya adalah merupakan alat untuk mencapai tujuan ekonomis dan politis dari suatu organisasi yang tersusun dan terorganisir dengan baik.
Contoh : Kekerasan politik di masa kampanye, terorisme