Riwayat Hidup
Auguste Comte adalah figur yang paling representatif untuk positivisme sehingga dia dijuluki Bapak Positivisme. Pada tahun terjadinya Revolusi, filsuf ini dilahirkan di kota Montpellier dari sebuah keluarga bangsawan yang beragama Katolik. Dalam usia 25 tahun, dia studi di Ecole Polytecnique di Paris dan sesudah dua tahun di sana dia mempelajari pikiran-pikiran kaum ideolog, tapi juga Hume dan Condorcet. Saint-Simon menerimanya sebagai sekretarisnya, dan sulit dipungkiri bahwa pemikiran Saint-Simon mempengaruhi perkembangan intelektual Comte. Mereka cocok dengan pandangan bahwa reorganisasi masyarakat bisa dilakukan dengan bantuan ilmu pengetahuan baru tentang perilaku manusia dan masyarakatnya. Pada tahun 1826, Comte sudah menemukan proyek filosofisnya sendiri dan mulai mengajarkannya di luar pendidikan resmi. Untuk selanjutnya, dia juga tak pernah menduduki jabatan resmi di kampus. Dia juga sempat sakit keras karena kerja keras, dan perkawinannya gagal. Bahkan dia sempat mencoba bunuh diri, tapi gagal. Adikaryanya yang paling termasyhur adalah Cours de Philosophie Positive dalam enam jilid. Dalam tulisan-tulisannya dia mengusahakan sebuah sintesis segala ilmu pengetahuan dengan semangat positivisme, tetapi usaha itu tidak rampung, sebab pada tahun 1857 dia meninggal dunia. Ketika ia meninggal, para muridnya dalam kelompok yang didirikannya, Societe Positiviste menghormatinya sebagai orang kudus positivisme, yakni imam agung kemanusiaan.
Istilah Positivisme
Istilah “positivisme” diperkenalkan oleh Comte. Istilah itu berasal dari kata “positif”. Dalam prakata Cours de Philosophie Positive, dia mulai memakai istilah “filsafat positif” dan terus menggunakannya dengan arti yang konsisten di sepanjang bukunya. Dengan “filsafat” dia mengartikan sebagai “sistem umum tentang konsep-konsep manusia”, sedangkan “ positif diartikannya sebagai “teori yang bertujuan untuk ‘penyusunan fakta-fakta yang teramati’ ”. dengan kata lain, “positif” sama dengan “faktual”, atau apa yang berdasarkan fakta-fakta. Dalam hal ini, positivisme menegaskan bahwa hendaknya tidak melampaui fakta-fakta. Dalam penegasan itu lalu jelas yang ditolak positivisme, yakni metafisika. Penolakan metafisika disini bersifat definitif. Dalam kritisismenya, Immanuel Kant masih menerima adanya “das Ding an sich”, obyek yang tidak bisa diselidiki pengetahuan ilmiah. Comte menolak sama sekali bentuk pengetahuan lain, seperti etika, teologi, seni, yang melampaui fenomena yang teramati. Baginya, objek adalah yang faktual. Satu-satunya bentuk pengetahuan yang sahih mengenai kenyataan hanyalah ilmu pengetahuan.
Tiga Tahap Hukum Kemajuan Manusia
Hukum tiga tahap merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan evolusioner umat manusia dari masa primitive sampai ke peradaban Prancis abad kesembilan belas yang sangat maju. Hukum ini, yang mungkin paling terkenal dari gagasan-gagasan teoritis pokok Comte, tidak lagi diterima sebagai suatu penjelasan mengenai perubahan sejarah secara memadai. Juga terlalu luas dan umum sehingga tidak dapat benar-benar tunduk pada pengujian empiris secara teliti, yang menurut Comte harus ada untuk membentuk hukum-hukum sosiologi. Singkatnya, hukum itu menyatakan bahwa masyarakat-masyarakat (atau umat manusia) berkembang melalui tiga tahap utama. Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan: teolitis, metafisik, dan positif.
Tahap teolitis merupakan periode yang paling lama dalam sejarah manusia, dan untuk analisa yang lebih terperinci, Comte membaginya ke dalam periode fetisisme, politisme dan monoteisme. Fetisisme, bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitive, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Akhirnya fetisisme ini diganti dengan kepercayaan akan sejumlah hal-hal supernatural yang meskipun berbeda dari benda-benda alam, namun terus mengontrol semua gejala alam. Begitu pikiran manusia terus maju, kepercayaan akan banyak dewa itu diganti dengan kepercayaan akan satu yang tertinggi. Katolisisme di abad pertengahan memperlihatkan puncak tahap monoteisme.
Tahap metafisik terutama merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dengan akal budi. Protestantisme dan Deisme memperlihatkan penyesuaian yang berturut-turut dan semangat teologis ke munculnya semangat metafisik yang mantap. Satu manifestasi yang serupa dari semangat ini dinyatakan dalam Declaration of Independence: “Kita menganggap kebenaran ini jelas dari dirinya sendiri….” Gagasan bahwa ada kebenaran tertentu yang asasi mengenai hukum alam yang jelas dengan sendirinya menurut pikiran manusia, sangat mendasar dalam cara berpikir metafisik.
Tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir. Tetapi pengetahuan selalu sementara sifatnya, tidak mutlak; semangat positivism memperlihatkan suatu keterbukaan terus menerus terhadap data baru atas dasar mana pengetahuan dapat ditinjau kembali dan diperluas. Akal budi penting, seperti dalam periode metafisik, tetapi harus dipimpin oleh data empiris. Analisa rasional mengenai data empiris akhirnya akan memungkinkan manusia untuk memperoleh hukum-hukum, tetapi hukum-hukum dilihat sebagai uniformitas empiris lebih daripada kemutlakan metafisik.
Statika dan Dinamika Sosial
Selanjutnya Comte membagi sosiologi menjadi dua, yaitu: statika sosial dan dinamika sosial. Masyarakat adalah kenyataan yang tertata tetapi juga yang berubah. Statika sosial mempelajari tatanan sosial itu dengan segala hukum yang mengaturnya. Misalnya soal pembagian kerja, koordinasi kepentingan umum, solidaritas sosial. Dinamika sosial mempelajari huku-hukum perubahan dan kemajuan sosial. Bagian ini erat kaitannya dengan statika sosial, sebab perubahan tanpa tatanan melahirkan anarki, dan tatanan tanpa perubahan adalah stagnasi. Kemajuan, bagi Comte, melekat pada tatanan sosial. Soalnya sekarang bagaimana memprediksi perubahan. Dinamika sosial berusaha menemukan jawabannya. Dengan demikian, buat Comte, sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang memiliki ‘maksud praktis’. Maksudnya, dengan mengetahui tatanan (statika sosial), sosiologi dapat mengarahkan perkembangan masyarakat ke sebuah susunan yang lebih baik (dinamika sosial). Termasyhur semboyan Comte dalam hal ini: “Voir pour prevoir” (Melihat untuk meramalkan). Dengan kata lain, ide tentang ‘rekayasa sosial’ sudah terkandung dalam filsafatnya, dan ini erat kaitannya dengan tema re-organisasi sosial masyarakat industri yang sudah muncul dalam pikiran Saint-Simon.
Daftar Pustaka
Doyle Paul Johnson. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: PT Gramedia
George Ritzer. 2004. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Kamanto Sunarto. 2000. Pengantar Sosiologi. Jakarta: LPFEUI
0 komentar:
Posting Komentar