Subscribe:

Labels

Rabu, 28 Desember 2011

Manajemen Kota

Dalam abad dewasa ini ilmu berkembang dengan pesat sebagai pengiring kebudayaan dan peradaban manusia, tetapi manusia ternyata tidak menjadi lebih bijaksana terhadap dirinya sendiri dan dunia sekelilingnya. Kota sebagai pusat segala aspek kehidupan manusia dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat telah menjadikannya pusat dari berbagai masalah sosial kultural yang tak ada habisnya. Oleh karena itu, pengelolaan dan manajemen kota yang terpadu sangat dibutuhkan. Peran serta dan kerjasama berbagai pihak baik pemerintah ataupun masyarakat akan sangat menunjang keberhasilan dari manajemen kota itu sendiri. 

Namun, masalah tidak sampai disitu saja. Manajemen dan pengelolaan kota yang diangan-angan akan membawa masyarakat menuju kualitas hidup yang lebih baik, ternyata tidak sepenuhnya baik. Berbagai masalah sosial baru muncul ke permukaan secara perlahan dan pasti akibat dari menajemen dan pengelolaan yang dilakukan.

Krisis dan Masalah Perkotaan Muncul Sebagai Resiko dari Manajemen Kota
Masalah kota menurut kenyataannya timbul sebagai akibat dari perencanaan dan pengelolaan kota, oleh karena itu harus dipecahkan lewat perencanaan pula. Manusia dengan peradaban, teknologi modern, produktivitas, inovasi, telah membangun kota dengan harapan memecahkan masalah sosial masyarakat. Namun kenyataannya berbagai pengelolaan dan manajemen kota yang telah dilakukan di abad teknologi ini, justru semakin membuat kota semrawut dan muncul berbagai masalah sosial akut yang belum pernah ada sebelumnya. Ledakan penduduk, masalah transportasi, lingkungan kumuh, pemanasan global, dan budaya konsumtif masyarakat kota merupakan efek negatif yang muncul dari manajemen kota.

Misalnya kita ambil contoh dalam bidang transportasi kota. Beberapa tahun lalu masyarakat mengalami problema hidup berupa sulitnya akses transportasi untuk migrasi ataupun pendistribusian barang. Pemerintah dengan cekatan segera menemukan solusi pemecahan masalah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menciptakan berbagai alat transportasi seperti kereta api, pesawat terbang, mobil dan beberapa alat transportasi massal lainya. Satu masalah pun berhasil ditangani bersama, bahkan impor berbagai alat transportasi tersebut berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat perkotaan. Manajemen dan pengelolaan transportasipun dianggap telah berhasil mensejahterakan masyarakat pada umumnya. Transportasi ternyata telah menjadi ciri kemajuan peradaban suatu masyarakat. Peranan transportasi semakin vital sejalan dengan tingkat kemajuan ekonomi dan kemakmuran masyarakat.

Namun, masalah sebenarnya justru muncul dari perkembangan alat trasnportasi seperti kendaraan yang seolah tanpa batas. Berbagai ragam dan tipe kendaraan bermunculan seiring tingginya tingkat permintaan dan konsumsi dari masyarakat. Konsekuensinya kemacetanpun terjadi di beberapa kota besar seperti Jakarta misalnya. Selain itu tingkat pencemaran udara semakin meningkat pesat di wilayah perkotaan di Indonesia. Pencemaran udara berupa asap kendaraan dan polutan lain membawa dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat. Berbagai jenis penyakit muncul sebagai dampak dari pencemaran udara. Lebih jauh lagi, dan kini telah menjadi isu global ialah pemanasan global (global warming) akibat meningkatnya kadar karbondioksida, karbonmonoksida,dan gas metan pada atmosfer bumi sehingga meningkatkan suhu udara rata-rata dibumi. Manajemen dan pengelolaan kota yang semula dianggap membawa perubahan dan meningkatkan taraf hidup manusia yang tinggal di kota, kini telah berbanding terbalik. 

Kini setelah berbagai problema baru muncul, kota kembali melakukan penataan, pengelolaan dan manajemen khususnya di bidang transportasi. Kita ambil contoh misalnya pengelolaan transportasi di kota Solo. Diberlakukannya jam masuk sekolah yang berbeda antara SD, SMP dan SMA sehingga kemacetan pada pagi hari sedikit dapat dikurangi. Selain itu, dikota-kota besar telah digalakkan penggunaan alat transportasi massal seperti angkutan umum dan busway.

Dari beberapa contoh kasus dan realita diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa manajemen kota dan krisis kota merupakan dua hal yang saling berkaitan erat satu sama lain. Pengelolaan kota yang telah disusun secara terpadu dengan melibatkan pakar-pakar yang ahli pada bidangnya, ternyata tidak sepenuhnya membawa dampak yang positif bagi kesejahteraan masyarakat. Bahkan apabila ditelusuri lebih dalam, berbagai masalah sosial yang timbul dalam masyarakat salah satunya disebabkan oleh manajemen kota itu sendiri. Solusi yang mungkin bisa ditawarkan yakni dengan meminimalisasi dampak negatif dari menajemen kota. Butuh peran aktif pemerintah dan kesadaran kolektif masyarakat untuk mewujudkannya, setidaknya agar kota yang kita huni ini tidak cepat hancur di makan jaman.


Sumber :

Marbun, B.N. 1994. Kota Indonesia Masa Depan : Masalah dan Prospek. Jakarta : Erlangga.

Rukmana, Nana. 1993. Manajemen Pembangunan Prasarana Perkotaan. Jakarta : PT. Pustaka LP3ES Indonesia.

Minggu, 25 Desember 2011

Cyber Sex

Internet di era sekarang ini telah menjadi akses pornografi yang digandrungi, bahkan paling dahsyat dan menjadi primadona. Lewat internet seseorang bisa surfing tiap situs porno yang dikunjungi. Sehingga cybersex merupakan fenomena akses dunia pornografi alternative selain lewat VCD maupun media cetak.
Umur internet memang tergolong muda. Namun gejala positif dan negatif sudah terasa. Bagi yang memanfaatkan mencari informasi, internet merupakan sarana yang murah, cepat dan lengkap. Mau mencari data apa saja mudah ditemukan. Mulai sejarah, keagamaan, artikel ilmiah, bahkan gambar atau video esek-esek pun dapat dicari. Misalnya ketika heboh foto syur penyanyi fenomenal Syahrini, maka foto-foto itu bisa diakses dengan mudah lewat internet. Begitu juga ketika heboh rekaman video vokalis group band Ariel Peterpan bersama pacarnya Luna Maya, kala itu rekamannya bisa di download dari internet. 
Menurut penelitian dari sekitar 1,8 juta warga Indonesia, 50% di antaranya tidak mampu menahan diri untuk membuka situs porno. Penelitian ini diungkapkan Richard Kartawaijaya, wakil presiden Asosiasi Piranti Lunak dan Telematika Indonesia. Tidak aneh karena situs-situs porno di internet sangatlah banyak sehingga dapat membuat betah para netter (pengguna internet) yang sudah kecanduan pornografi. Apalagi saat ini, di mana saja dan kapan saja, semua orang dapat mengakses internet. Bahkan dari dalam kamar sendiri pun.
Dari data TopRevies.com menyebutkan, 75 juta pengguna internet mengakses situs porno setiap bulan secara teratur pada tahun 2005. Data tersebut semakin bertambah setiap 6 bulan. Situs-situs porno tersebut terhubung dengan mesin-mesin pencari (search engines) terkenal, seperti Google dan Yahoo. Para pengakses biasanya mencari situs-situs porno terbaru yang menampilkan materi pornografi terkini dan belum pernah didapatkan sebelumnya. Menurut TopReviews.com, Indonesia masuk dalam 10 besar peringkat negara dan jumlah pengunjung situs porno di internet, tepatnya di peringkat ke-7. Data ini menunjukkan, bahwa semakin banyak orang di Indonesia yang kecanduan materi pornogafi lewat internet.
Semakin banyak kolektor materi film, foto, dan segala hal yang berbau pornografi di sekeliling kita. Semuanya tersimpan dalam jumlah ratusan giga tersebar dimana-mana dari warung internet, sampai ke ruang wakil rakyat, dari dalam rumah sampai ke sekolah-sekolah, dan semakin menyebar lewat perantara belasan juta handphone multimedia.

Tubuh Sosial

Tubuh mulai menjadi perhatian ilmu sosial mulai abad 19. Antropologi menjadi disiplin yang sejak awal kelahirannya sudah meletakkan tubuh sebagai bagian penting. Itu terjadi karena sedari kemunculannya antropologi berada dalam tekanan kolonialisme yang membebaninya tugas mencari unsur-unsur yang jadi persamaan semua kebudayaan untuk mengurangi relativitas sosial dan budaya. Istilah human universal (yang dipersempit menjadi culture universal) lantas menemukan tubuh manusia berikut asal-usul dan gerak-geriknya sebagai common denominator bagi berbagai kelompok.
Antropologi juga menjadi dispilin yang paling awas terhadap peran tubuh masyarakat pramodern. Tubuh adalah penanda penting bagi status sosial, posisi keluarga, umur, gender, dan hal-hal yang bersifat religius. Gerak tubuh dalam pelbagai ritus hingga tatto menjadi tematik yang penting dalam setiap studi atas kebudayaan-kebudayaan pramodern atau primitifyang dilakukan para antropolog.
Sejak itulah tubuh tak lagi dipahami semata sebagai anasir fisikal melainkan juga sosial (the physical body is also social). Banyak teori yang muncul berkaitan “tubuh sosial” ini. Robert Hertz percaya bahwa tubuh merefleksikan pola pikir masyarakat. Marcel Mauss bahkan yakin kalau pengetahuan ihwal bagaimana masyarakat menggunakan tubuhnya adalah cara paling strategis untuk mengetahui sebuah peradaban. Mary Douglas meyakini tubuh sebagai suatu sistem simbol. Dalam buku Purity and Danger (1966), Mary melontarkan tese, “Sebagaimana segala sesuatu melambangkan tubuh, demikian tubuh juga adalah simbol bagi segala sesuatu”.
Tubuh manusia sudah jadi topik penting dalam kajian antropologi sejak awal abad ke-19. Ada empat alasan yang bisa menjelaskan kenapa tubuh menempati posisi penting dalam antropologi:
1.      Pembahasan antropologi filsafat tentang tema ontologi manusia. Tema ini otomatis menempatkan perwujudan bentuk manusia dalam posisi sentral.
2.      Asal-usul manusia yang berasal dari spesies mamalia adalah pertanyaan penting dalam antropologi. Apakah yang kemudian membatasi alam dan kebudayaan?
3.      Sejak masa Victoria telah berkembang telaah evolusi dalam antropologi (darwinisme sosial), yang memberi kontribusi pada studi tubuh.
4.      Karena dalam masyarakat pramodern tubuh adalah penanda penting bagi status sosial, posisi keluarga, umur, gender, dan hal-hal yang bersifat religius.
Abad baru, dengan pandangan tentang tubuh yang baru, membuat para antropolog berhenti untuk melihat tubuh secara fisik dan mulai melihat tubuh sebagai alat untuk menganalisa masyarakat. Margaret Mead misalnya mengatakan bahwa pembedaan kepribadian dan aturan-aturan dari dua jenis seks yang berbeda itu diproduksi secara sosial. Robert Hertz percaya bahwa pola pikiran masyarakat terefleksikan dalam tubuh. Persoalan-persoalan kosmologi, gender, dan moralitas mewujud menjadi persoalan-persoalan yang dialami tubuh. Tubuh fisik adalah juga tubuh sosial (the physical body is also social). Menurut Marcel Mauss cara untuk mengetahui peradaban manusia lain adalah dengan mengetahui bagaimana masyarakat itu menggunakan tubuhnya. Tubuh adalah instrumen yang paling natural dari manusia, yang dapat dipelajari dengan cara yang berbeda sesuai dengan kultur masing-masing.
Mary Douglas adalah orang pertama yang melihat tubuh sebagai suatu sistem simbol. Dalam bukunya Purity and Danger (1966) ia mengatakan, “Sebagaimana segala sesuatu melambangkan tubuh, demikian tubuh juga adalah simbol bagi segala sesuatu”. Dan dalam Natural Symbols (1970) ia membagi tubuh menjadi dua: the self (individual body) dan the society (the body politics). The body politics membentuk bagaimana tubuh itu secara fisik dirasakan. Pengalaman fisik dari tubuh selalu dimodifikasi oleh kategori-kategori sosial yang sudah diketahui, yang terdiri dari pandangan tertentu dari masyarakat.
Nancy Scheper-Hughes dan Margaret Lock membedakan tubuh menjadi tiga: tubuh sebagai suatu pengalaman pribadi, tubuh sebagai suatu simbol natural yang melambangkan hubungan dengan alam masyarakat dan kebudayaan, dan tubuh sebagai artefak kontrol sosial dan politik. Bryan S Turner membuat skema permasalahan tubuh yang disebutnya sebagai “geometri tubuh” (The Body and Society (1984). Konsep Ini lebih merupakan pemetaan persoalan tubuh 4 dimensi:
1.      Kesinambungan dalam waktu: masalah utamanya reproduksi.
2.      Kesinambungan dalam ruang: masalah utamanya adalah regulasi dan kontrol populasi, ini yang sering disebut sebagi masalah “politik”.
3.      Kemampuan untuk menahan hasrat: ini adalah persoalan internal tubuh.
4.      Kemampuan merepresentasikan tubuh kepada sesama, ini adalah masalah eksternal tubuh.
Pemikiran Arthur W. Frank sedikit lebih kompleks dalam For a Sociology of the Body: An Analytical Review (1991]). Menurutnya ada 4 masalah yang berkaitan dengan tubuh yaitu: kontrol, hasrat, hubungan dengan sesama, dan hubungan denga diri sendiri, yang pada gilirannya membagi tubuh menjadi 4the disciplined body, the mirroring body, the dominating body, dan communicative body.
Era millennium adalah era di mana tubuh telah mengambil posisi terhormat sebagai lokus kesadaran akan pentingnya pemeliharaan citra tubuh ideal. Tubuh telah diproklamasikan tidak lagi sebagai kuburan bagi jiwa. Bukan sebatas organ fisik, lebih jauh, tubuh merupakan sebuah “identitas”, sebagai “sistem berpikir,” “cara mengada”, dan sebuah kompleksitas nilai dan makna yang padanya aturan dan control sosial berlaku..
Force relationthe body dan the social body atau relasi kuasa atas tubuh terjadi ketika Negara dengan lanskap kapitalisme telah memberi ruang yang sangat besar bagi proyek tubuh dengan segenap konsekuensinya. Di mana-mana, melalui iklan gadis-gadis cantik dan pria tampan, sosialisasi kesehatan, rumah sakit, salon kecantikan, agenda “moralitas” masyarakat postmodern disusun sedemikian rupa melalui representasi tubuh. Tubuh telah mengalami mekanisasi politik melalui perayaan komoditas produk kecantikan/kesehatan dan komodifikasi atas tubuh yang bertujuan menciptakan imperatif moral yang mendikte setiap sikap, prilaku, cara berpikir, dan bagaimana “bekomunikasi” yang baik. Dalam relasi kuasa di dunia kampus, ilmu pengetahuan, tanpa kita sadari memiliki peluang yang sangat kuat mendikte gerak tubuh (gesture) mahasiswa sebagai cara berpikir “logis” yang harus tetap dijaga sebagai bentuk “kesadaran” yang artikulatif mengarahkan kita pada tata cara bergaul, berkomunikasi, bahkan mengkritisi kebijakan-kebijakan yang kita anggap timpang. Sebagai contoh, ilmu komunikasi, khusunya dalam studi public relation (humas) secara tidak langsung menolak citra-citra vokalitas tubuh yang “liar”, “urakan”, sebagai bentuk komunikasi interpersonal yang “efektif.” Pakaian yang rapi, rutinitas absensi mahasiswa, gerak tubuh (tangan, bibir, mata dan sebagainya) dan cara bicara yang lembut penuh intonasi dengan pilihan kata (diksi) yang tepat, merupakan system symbol sosial yang secara politik-akademik lebih bernilai ketimbang kritisisme itu sendiri. Tidak dalam arti menafikan sikap-sikap “baik” semacam itu, lebih jauh, secara tidak sadar kita telah menerima “normalisasi” pengetahuan yang berakibat pada munculnya oposisi pasangan (binary opposition); baik-buruk, lembut-keras

Konsumerisme

Konsumtivisme merupakan paham untuk hidup secara konsumtif sehingga orang yang konsumtif dapat dikatakan tidak lagi mempertimbangkan fungsi atau kegunaan ketika membeli barang melainkan mempertimbangkan prestise yang melekat pada barang tersebut. Oleh karena itu, arti kata konsumtif adalah boros atau perilaku boros yang mengonsumsi barang atau jasa secara berlebihan. Dalam artian luas konsumtif adalah perilaku berkonsumsi yang boros dan berlebihan yang lebih mendahulukan keinginan daripada kebutuhan serta tidak ada skala prioritas atau juga dapat diartikan sebagai gaya hidup yang bermewah-mewah.
Sedangkan konsumerisme itu sendiri merupakan gerakan konsumen (consumer movement) yang mempertanyakan kembali dampak-dampak aktivitas pasar bagi konsumen (akhir). Dalam pengertian lebih luas, istilah konsumerisme dapat diartikan sebagai gerakan yang memperjuangkan kedudukan yang seimbang antara konsumen, pelaku usaha dan negara dan gerakan tidak sekadar hanya melingkupi isu kehidupan sehari-hari mengenai produk harga naik atau kualitas buruk, termasuk hak asasi manusia berikut dampaknya bagi konsumer.
Menurut Jane Gaines, istilah mengonsumsi ditemukan dalam kajian budaya dan studi media dalam penciptaan makna. Membeli adalah kunci dari tindak pemaknaan di keas borjuis karena orang akan ikut serta pada suatu derajat (sosial) ketika dia membayar. Namun sampai batas-batas mana kita ingin melihat setiap tindakan mengkonsumsi sebagai tindakan penciptaan makna. Bukti bahwa konsumerisme bukan merupakan aktivitas pasif bodoh yang menunjukkan konformitas sosial, melainkan mencerminkan pergeseran persepsi dikalangan pria-pria muda ketika mereka melawan keinginan maskulinitas konvesional kelas pekerja yang bersikukuh bahwa mereka menolak makna benci atau “sok keren”. Melalui konsumerisme, makna maskulinitas kelas pekerja mengalami transisi suatu negosiasi ulang dan mungkin feminisasi. Namun, makna yang ditemukan dalam konsumerisme yang kadang-kadang dengan mengorbankan analisis hubungan sosial belanja, dapat mengarah pada konsumerisme yang hanya dirayakan.
Makna kata konsumtivisme maupun konsumerisme bukan sesuatu hal yang baru, sebab pada dasarnya -isme yang satu ini ternyata sudah lama ada dan sejak awal telah mengakar kuat di dalam kemanusiaan kita (our humanity). Hal ini bisa kita lihat dari ekspresinya yang paling primitif hingga yang paling mutakhir di jaman modern ini. Tendensi yang ada dalam diri manusia untuk selalu tak pernah puas dengan hal-hal yang telah mereka miliki, ditambah dengan dorongan kuat ambisi pribadi dan semangat kompetisi untuk mencapai sesuatu yang lebih daripada tetangga sebelah membuat pola hidup konsumtivisme semakin subur dan berkembang amat cepat.
Belanja biasanya dipandang sebagai aktivitas pribadi, namun pada saat bersamaan ia pun merupakan aktivitas publik dan pada kasus pasar dan toko pakaian bekas sekaligus berlangsung di jalanan. Belanja cenderung dimasukkan ke dalam kategori kerja domestic dengan konotasi ikutan berupa sesuatu yang membosankan dan melelahkan. Jika tidak, hal ini telah terserap ke dalam konsumerisme dimana perempuan dan para gadis dipandang memainkan peran tertentu. Feminism kontemporer begitu lamban dalam menantang ortodoksi awal tahun 1970-an yang melihat perempuanj sebagai budak bagi konsumerisme. Pandangan Erica Carter bahwa menikmati belanja berarti menjadi seorang feminine pasif dan terjerumus kedalam sistem kebudayaan palsu. Satu alasan adalah bahwa belanja dipandang sebagai aktivitas perempuan. Aktivitas anak-anak muda dan perhatian mereka terarah pada wilayah-wilayah pengalaman yang memiliki citra yang sangat maskulin.
Dalam masyarakat komoditas atau konsumer terdapat suatu proses adopsi cara belajar menuju aktivitas konsumsi dan pengembangan suatu gaya hidup. Pembelajaran ini dilakukan melalui majalah, koran, buku, televisi, dan radio, yang banyak menekankan peningkatan diri, pengembangan diri, transformasi personal, bagaimana mengelola kepemilikan, hubungan dan ambisi, serta bagaimana membangun gaya hidup. Dengan demikian, mereka yang bekerja di media, desain, mode, dan periklanan serta para ‘intelektual informasi’ yang pekerjaannya adalah memberikan pelayanan serta memproduksi, memasarkan dan menyebarkan barang-barang simbolik sebagai ‘perantara budaya baru’. Budaya konsumerisme terutama muncul setelah masa industrialisasi ketika barang-barang mulai diproduksi secara massal sehingga membutuhkan konsumen lebih luas. Media dalam hal ini menempati posisi strategis sekaligus menentukan; yaitu sebagai medium yang menjembatani produsen dengan masyarakat sebagai calon konsumen.
Mengonsumsi sebenarnya merupakan kegiatan yang wajar dilakukan. Namun, dewasa ini disadari bahwa masyarakat tidak hanya mengonsumsi, tapi telah terjebak ke dalam budaya konsumerisme. Budaya ini dikatakan berbahaya karena berekses negatif terhadap lingkungan hidup, juga meluruhnya hubungan sosial dan bertahtanya kesadaran palsu di benak masyarakat. Berbagai program, dari mulai sinetron, kuis, sandiwara komedi, sampai musik, disediakan sebagai persembahan spesial untuk menyambut hari spesial. Semakin cantik acara yang disajikan akan semakin mengundang banyak penonton. Selanjutnya, rating-pun tinggi sehingga merangsang kalangan produsen untuk memasang iklan. Iklan merupakan proses persuasi yang sangat efektif dalam memengaruhi keputusan masyarakat dalam mengonsumsi.
Kebudayaan konsumer yang dikendalikan sepenuhnya oleh hukum komoditi, yang menjadikan konsumer sebagai raja yang menghormati setinggi-tingginya nilai-nilai individu, yang memenuhi selengkap dan sebaik mungkin kebutuhan-kebutuhan, aspirasi, keinginan dan nafsu, telah memberi peluang bagi setiap orang untuk asyik dengan sendirinya. Masyarakat yang hidup dalam budaya konsumer. Budaya konsumerisme/konsumtivisme merupakan jantung dari kapitalisme, adalah sebuah budaya yang di dalamnya berbagai bentuk dusta, halusinasi, mimpi, kesemuan, artifisialitas, pendangkalan, kemasan wujud komoditi, melalui strategi hipersemiotika dan imagologi, yang kemudian dikonstruksi secara sosial melalui komunikasi ekonomi (iklan, show, media) sebagai kekuatan tanda  kapitalisme.
Dampak konsumerisme dan penjenuhan media sebagai aspek utama perkembangan masyarakat kapitalis. Sekarang berbagai kebutuhan ekonomi kapitalisme telah bergeser dari produksi menjadi konsumsi. Konsumsi merupakan perkembangan yang cukup mutakhir dalam sejarah kapitalisme yang perlu dipecahkan. Dalam sebuah masyarakat kapitalis maju, kebutuhan orang untuk mengonsumsi telah menjadi sama petingnya dibandingkan dengan kebutuhan orang untuk memproduksi. Pertumbuhan kredit konsumen, ekspansi agen-agen (iklan, pemasaran, desain) mendorong orang-orang untuk mengonsumsi, dan lahirnya budaya populer modern yang menuja konsumerisme, hedonisme, dan gaya.
Bangkitnya bentuk-bentuk komunikasi massa modern maupun pengembangbiakan budaya media populer telah menjadikan media massa sebagai keutamaan bagi arus komunikasi dan informasi di dalam maupun diantara masyarakat-masyarakat modern. Akibatnya, budaya populer yang mereka siarkan dan promosikan semakin banyak menerangkan dan memperantarai kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat. Semakin pentingnya konsumsi dan media di dalam masyarakat modern telah menimbulkan pekerjaan-pekerjaan baru yang ada kaitannya dengan perlunya mendorong orang untuk melakukan konsumsi lebuh sering, semakin banyak, dan beragam komoditas. Hal ini juga mengakibatkan pengikisan identitas, pengikisan identitas yang dulunya aman telah mengarah pada semakin menignkatnya fragmentasi identitas personal. Konsumerisme tidak menghasilkan sumber-sumber identitas dan keyakinan yang terkikis, tapi karena tidak ada alternatif yang bergantung, budaya populer dan media massa mulai berfungsi sebagai satu-satunya kerangka rujukan sebagai konstruksi identitas kolektif maupun personal.

Budaya Konsumen

Istilah budaya konsumen adalah isu sentral dalam masyarakat kapitalisme. Kapitalisme adalah corak produksi baru setelah feodalisme yang memasalkan produksi untuk dikonsumsi masyarkat. Berbeda dengan corak produksi feudal, tempat masyarakat berproduksi secara individual dengan alat produksi sederhana untuk mencukupi kebutuhan sendiri, bukan untuk dijadikan komoditas sebagaimana dalam kapitalisme. Dalam hal ini, budaya konsumen dibedakan dengan tindakan mengonsumsi yang memang tidak selalu ada dalam setiap masyarakat. Setiap menghasilkan suatu barang, tentu tujuannya adalah dipakai (dikonsumsi). Maka, budaya konsumen dikaitkan dengan meningkatnya tujuan manusia untuk mengonsumsi yang bukan disebabkan semata karena fungsi dan manfaat barang (produk), melainkan ada aspek emosi dan larutnya individu dalam budaya massa yang dipicu oleh iklan dan rayuan untuk membeli komoditas yang dilakukan secara masif.
            Jadi, budaya konsumen adalah jenis dari “budaya materi” (material culture). Hal ini berangkat dari watak universal manusia yang berusaha mencukupi kebutuhan materialnya. Dalam hal ini, sebagaimana diargumenkan konsumsi yang terjadi dalam semua masyarakat berada “ diluar perdagangan”  atau tidak terbatas pada perdagangan semata, tetapi selalu merupakan gejala budaya sebagaimana halnya sebuah gejala ekonomi. Di masyarakat mana pun, dari dulu hingga sekarang, tampaknya kegunaan benda-benda selalu berkaitan dengan budaya, artinya, benda-benda material bukan hanya berguna untuk melakukan sesuatu, malainkan juga mempunyai makna dalam hubungan sosial.
            Dewasa ini, budaya konsumen berkaitan dengan ekspansi produksi komoditas kapitalis yang memunculkan akumulasi besar-besaran budaya dalam bentuk barang-barang konsumen dan tempat belanja konsumsi. Budaya konsumen harus diciptakan dengan cara “mendidik” agar public konsumtif membangun pasar-pasar baru agar produk laku dan kapitalis mendapatkan keuntungan besar.
            Akan tetapi, pandangan culture studies mengenai masalah ini tidak berpijak pada analisis manajemen rasional yang kurang memerhatikan terbentuknya suatu proses emosi dan ide dan pemaknaan terhadap barang. Ada dominasi nilai tukar yang mencoba menghapuskan ingatan tentang nilai manfaat benda yang membuat komoditas menjadi bebas untuk mengambil nilai manfaat sekunder atau nilai manfaat semu. Dengan demikian, komoditas bebas mengambil berbagai macam asosiasi dan ilusi budaya. Periklanan secara khusus mampu mengeksploitasi kondisi ini dan memberikan citra-citra pada komoditas, lewat iklan.
            Jean Baudrillard menggunakan pendekatan semiologi untuk menegaskan bahwa konsumsi membutuhkan manipulasi sinyal-sinyal secara aktif. Manipulasi ini menjadi hal penting dalam masyarakat kapitalis baru ketika sinyal dan komoditas secara bersama menghasilkan “sinyal-sinyal komoditas (commodity-sign)”. Melalui manipulasi sinyal dalam media periklanan, misalnya otonomi pemberi arti (signifier) mengartikan bahwa sinyal mampu mengalir bebas dari objek dan tersedia untuk digunakan dalam suatu keragaman hubungan asosiatif. Pendekatan Baudrillard ini menggantikan penekanan Marx (terhadap kapitalisme) yang materialistik menjadi analisa budaya. Ia menekankan pada reproduksi, untuk reduplikasi sinyal, citra, dan simulasi yang berjalan terus menerus melalui media yang menghapuskan perbedaan antara citra dan realitas. Over produksi sinyal-sinyal, reproduksi citra dan simulasi menyebabkan hilangnya arti yang tetap serta estetisikasi realitas dimana-mana menjadi terpesona oleh arus penjajaran yang berbahaya yang berjalan tanpa hentinya yang membuat pemirsa kehilangan perasaannya yang mapan.
            Sementara itu, pendiri cultural studies Inggris Raymond Williams (1976) mengungkapkan bahwa salah satu pemakaian terbaru dari “mengonsumsi” adalah merusak (to destroy), memakai (to use up), membuang-buang (to waste), dan menghabiskan ( to exchaust). Artinya, konsumsi sebagai pembuang-buangan, perbuatan yang berlebih-lebihan, dan pengeluaran menunjukkan satu kondisi paradoksikal dalam penekanan produksionis dari masyarakat masyarakat kapitalis dan sosialis Negara yang harus dikontrol dan disalurkan.
            Kebutuhan artifisial membuat para konsumen tidak dibuat untuk menjadi rasional atau instrumenta dalam memanfaatkan produk. Iklan menampilkan produk dalam tampilan yang memikat membeli barang sebagai cara untuk menunjukkan status, tak lepas dari rayuan iklan.
Efek budaya konsumen telah mendapatkan reaksi dari berbagai kalangan. Budaya konsumen umumnya ditunjuk sebagai sangat destruktif bagi agama dalam kaitannya dengan penekanannnya pada hedonisme, pengejaran kesenangan disini dan saat ini (here and now), penanaman gaya ekspresif, peningkatan watak naristik dan kepribadian egoistik. Konsumerisme telah mengakibatkan pemiskinan spiritual dan kedirian hedonistik dengan filsafatnya “nikmati sekarang, bayar belakang (live now, pay later)”. Budaya konsumen yang kian ekspansif juga dituduh merusak mental anak-anak dan remaja sehingga mereka malas belajar dan teracuni dengan ideology hedonisme dan pragmatis.

Budaya Populer

Budaya popular (biasa disingkat sebagai budaya pop dalam bahasa Inggris popular culture atau disingkat pop culture) adalah gaya, style, ide, perspektif, dan sikap yang benar-benar berbeda dengan budaya arus utama “mainstream” (yang preferensinya dipertimbangkan diantara konsensus formal). Banyak dipengaruhi oleh media massa (setidaknya sejak awal abad ke 20) dan dihidupkan terus-menerus oleh berbagai budaya setempat, kumpulan ide tersebut menembus dalam keseharian masyarakat. Budaya popular sering dipandang sepele dan “tidak intelek” jika dibandingkan dengan apa yang disetujui sebagai budaya arus utama. Sebagai hasil dari persepsi ini, budaya pop mendapat banyak kritikan dari berbagai sumber ilmiah dan budaya mainstream (biasanya dari kelompok-kelompok religi dan counterculture) yang menganggap budaya pop superficial (palsu), konsumeris, sensasional, dan tak bermoral.
Sikap ini tercermin dalam preferensi dan penerimaan atau penolakan terhadap berbagai fitur dalam berbagai subjek, misalnya masakan, pakaian, konsumsi, dan banyak aspek entertainment, seperti olahraga, music, film, dan buku-buku. Budaya popular sering bertolak belakang dengan “budaya tinggi” (budaya luhur, budaya adiluhung) yang merupakan budaya kaum penguasa. Juga, ditentangkan dengan budaya rendah atau rakyat dari kelas akar rumput