Subscribe:

Labels

Jumat, 25 November 2011

Tayangan Pornografi, Kekerasan, Mistik/Supranatural Cenderung Memotivasi Perilaku Negatif

A. PENDAHULUAN
Media televisi tadinya ingin mengangkat realitas sosial ke tengah masyarakat agar masyarakat menjadi tahu dan sadar. Akan tetapi, karena bentuk dan cara penampilan tayangan yang berlebihan, intensitasnya yang tinggi karena tidak ada hari tanpa tayangan tersebut dan hampir semua stasiun membuat acara yang hampir sama, sehingga dikhawatirkan akan mengubah watak dan moral orang-orang yang menonton siaran tersebut. Makin banyak terkena dampak maka akan berubah corak moral masyarakat, karena masyarakat merupakan akumulasi dari individu. Proses perubahan yang cukup signifikan adalah proses desensitisasi/penumpukan rasa, dan prose imitas/peniruan pornografi, kekerasan dan kepercayaan supranatural. Dilatar belakangi budaya masyarakat yang terkena terpaan siaram tersebut. Latar belakang yang dimaksud tidak sekedar budaya etnisitas lokal, tetapi budaya dalam keluarga, kelompok dan interaksi dalam masyarakat, serta nilai dan kepercayan yang dianut, watak dan karakter dari agregat individu dalam masyarakat. Presepsi melibatkan sensasi, atensi, emosi, serta memori sebagai tampilan dari efek kognitif dan afektif. Oleh karena itu penelitian ini akan melihat kecenderungan kemana presepsi masyarakat tersebut, negatif atau positif bila dikaitkan dengan fungsi sosial dan pendidikan dari media massa seperti televisi.


B. TEMUAN PENELITIAN
Hasil temuan penelitian dari ketiga tema tayangan TV, yakni tema pornografi, kekerasan dan tayangan supranatural, memunculkan beberapa konsep sebagai berikut :

1. Terjadi Proses Sosialisasi Pornograf, Kekerasan dan Kepercayaan Mistik Supranatural.
Tayangan program TV yang bertema pornografi, telah mengundang presepsi pornografi diikuti dengan tampilan dan perilaku pemain dengan pakaian beserta gerak tubuh, terutama dari pemain perempuan. Eksploitasi seksual merupakan pemanfaatan seksual manusia secara berlebihan untuk mendapat keuntungan materi atau non materi bagi diri sendiri ataupun orang lain. Pornografi dan pornoaksi dinilai sebagai pelanggaran batas susila karena hal semacam ini, dalam konteks kelaziman di Indonesia, hanya pantas dilakukan oleh suami istri, itupun di ruang privat, bukannya di depan umum dalam ruang publik.
Dari segi tayangan kekerasan, diperihatkan berbagai tindakan yang menimbulkan kesakitan fisik maupun psikologis pada yang mengalaminya. Kekerasan digolongkan kekerasan terhadap diri sendiri (bunuh diri), kekerasan terhadap orang lain (perampokan, penganiayan dan sebagainya). Kekerasan itu dialami oleh anak-anak yang dianiaya, diperkosa/disodomi oleh orang dewasa, kekerasan terhadap perempuan.
Demikian pula presepsi orang menengah atas dikalanga remaja/orang pemuda tampak bahwa mereka menyukai acara mistik di televisi yang dianggap sebagai cerminan masyarakat diwilayah tersebut realitas masyarakat dipinggiran. Sebagaian merasa hal yang ditayangkan itu dapat menjadi tamsil/contoh. Akan tetapi, semua khawatir akan membawa dampk negatif bagi yang percaya terhadap sesuatu yang menyesatkan.
Tayangan pornografi, kekerasan dan tayangan mistik di televisi dikhawatirkan berpengaruh negatif terhadap anak-anak dan remaja. Hal ini betentangan dengan fungsi pendidikan dari media massa, lebih pada fungsi informatif tetapi membawa efek yang negatif.

2. Presepsi dan Efek Tayangan Pornografi, Kekerasan, dan Mistik Berkaitan Erat dengan Latar Belakang Khalayak Pemirsa.
Dari berbagai presepsi, motivasi menonton tayangan pornografi tampak lebih kuat pada masyarakat golongan non elite, dibandingkan golongan elite., yang dibentuk melalu pengasuhan umum, profesi dan pendidikan. Untuk goongan elite, taraf presepsi paling kuat dirasakan pada aspek atensi dan memori, yaitu perhatian dan ingatan pada unsur-unsur pornografi yang tampak ditelevisi. Pada golongan non elite, taraf presepsi paling kuat hampir dirasakan pada aspek persepsi, atensi, motivasi, maupun sensasi. Presepsi yang cukup rinci dalam mendefinisikan pornografi serta unsur-unsurnya menimbulkan atensi yang kuat, partisipan kelompok non elite dalam penelitian ini mendefinisikan bahwa iklan sebagi bgian dari program televisi berubsur pornografis. Jika atensi pada partisipan kelompok elite membuat motivasi maupun sensasi bergerak kearah negatif, tidak demikian halnya dengan partisipan kelompok non elite. Penelitian ini justru menggerakkan motivasi dan sensasi partisipan kelompok non elite ke arah positif sehingga membuhkan sikap monoton dan menjadikan acara tersebut memnuhi sejumlah fungsi, mulai dari sosialisasi, rujukan, dan tentu saja hiburan.
Dalam penelitian ini tergambar pula bahwa ada perbedaan persepsi antara golongan elite dan non elite dalam hal adegan kekerasan. Golongan elite melihat adega kekerasan dalam tayangan televisi dianggap sebagai hal kurang baik. Artinya, adegan itu seharusnya tidak terlalu diekspos, bisa merusak kejiwaan orang banyak terutama remaja. Sementara itu, golongan non elite, melihat adegan kekerasan sebagai sesuatu hal yang biasa, dan mungkin itu adalah kejadian sesungguhnya. Kejadian yang juga mungkin akan terjadi sama semua orang.

3. Terjadi Proses Desensitisasi/Penumpulan Rasa.
Pengaruh pornografi terhadap sikap masyarakat memang tidak tampak langsung keculi remaja. Salah stunya adalah desensitisasi atau penumpulan kepekaan, akibat terpaan yang berlebihan. Tayangan kekerasan pada umumbya dirasakan pemirsa pada taraf memori yaitu ingatan yang kuat terhadap adegan atau tayangan tertentu yang bersifat luar biasa. Masyarakat menilai berbagai tayangan tersebut adalah ha yang biasa. Hal tersebut erat kaitannya dengan kondisi sosial mesyarakat yang memang sudah terbiasa dengan bebagai informasi dan tindakan kekerasan. Dalam tayangan mistik supranatural, terlihat persepsi masyarakat menengah kebawah/non elite dewasa cenderung menyukai karena latar belakang budaya masyarakat serta kepercayaan pada hal-hal mistik supranatural.

4. Terjadi Proses Imitasi atau Peniruan.
Fenomena persepsi masyarakat terhadap adegan pornografi, kekerasan dan mistik di televisi, berbagai adegan tersebut harus senantiasa diwaspadai dan dibatasi. Tayangan televisi yang bersifat “ pandang-dengar” mudah diikuti dan cenderung untuk mudah ditiru. Banyak peniruan yang dilakukan remaja ketika mengidolakan selebriti televisi tertentu atau ketika berhadapan dengan tayangan televisi. Peniruan tersebut mewujud dalam bentuk gaya bergaul antar lawan jenis yang relatif bebas dan gaya berbusana yang semakin terbuka. Kendati atensi dan motivasi menonton tayangan tersebut rendah, namun remaja menjadi sosok yang rentan lewat peniruan terhadap gaya hidup, misalnya gaya berbusana.

5. Proses Resistensi.
Dari aspek posisi pembacaan kultural, mengacu pada teori Encoding-Decoding Stuart Hall, terlihat perbedaan penerimaan terhadap tayangan televisi berunsur pornografis, kekerasan dan mistik. Dengan berbagai pertimbangan, para partisipan kelompok elite dalam wawancara mengaku menolak menyaksikan tayangan televisi bertema pornografis. Ini menandakan bahwa ketika berhadapan dengan tayangan atau program televisi bermuatan pornografis, partisipan kelompok elite ini berada pada posisi oppositional reading atau menolak. Tayangan mistik hanya dianggap menyodorkan nilai-nilai dan tak sesuai dengan belief dan kebutuhan masing-masing. Ideologi televisi secara tersirat menyatakan sebagai ideologi mencari untung semata.

6. Perubahan Perilaku.
Penelitian mengenai persepsi masyarakat terhadap tayangan yang bertema pornografi, kekerasan dan mistik supranatural yang cenderung mengarah pada persepsi negatif karena akan membentuk budaya massa negatif. Media televisi yang tadinya mengangkat realitas sosial ke tenah masyarakat agar masyarakat menjadi tahu dan sadar, tapi karena bentuk dan cara penampilan dari tayangan tersbut yang berlebihan dan intensitasnya berlebihan dikhawatirkan akan mengubah watak, moral orang-orang/individu yang diterpa oleh siaran tersebut.

7. Terjadi Dominasi Kekuatan Media.
Dalam konsep kekuasaan ada 2 masalah pokok. Pertama, keefektifan media sebagai sarana untuk mencapai tujuan kekuasaan tertentu melalui persuasi, mobilisasi, informasi dan seterusnya. Kedua, kekuasaan siapa yang diterapkan oleh media, kekuasaan masyarakat secara keseluruhan, kekuasaan kelas, atau kekuasaan kelompk kepentingan tertentu, atau kekuasaan komunikator secara individu.


C. KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini diambil beberaa hal yang menonjol, yakni :
1. Hasil penelitian memperlihatkan pengaruh media pada khalayak terjadi dalam berbagai tingkatan. Mengacu pada Reception Theory Encoding/Decoding dari Stuart Hall, hasil tersebut mengimplikasikan hubungan khalayak media berada pada posisi yang berbeda-beda : (1) hegemonik dominan/terpengaruh, rentan bagi kalangan menengah kebawah dan remaja; (2) negotiated/dapat menerima kompromi menganggap sebagai hiburansaja; (3) oppositional/ menolak bagi kalangan menengah dan berpendidikan.
2. Persepsi dan sikap memang tampak kuat di pengaruhi oleh faktor budaya, lingkungan, agama, pendidikan dan kepentingan norma lingkungan. Mekanisme persepsi selektif menjelaskan perbedaan persepsi diantara khalaya televisi yang terlihat dalam penelitian ini. Namun hasil penelitian ini memperlihatkan, belum tentu orang yang berpendidikan tinggi dan berekonomi kuat(sehingga punya alternatif hiburan diluar televisi) resisten terhadap televisi, bisa menyukai dan patuh karena nilai-nilai yang dianut.
3. Salah satu hasil penelitian yang menarik adalah munculnya desensitisasi dan resistensi di antara khalayak televisi. Desensitisasi atau penumpulan kepekaan diakibatkan karena khalayak terbiasa menyaksikan tayangan televisi yang dipermasalahkan, karena hadir setiap hari dalam tontonan mereka. Proses desensitisasi lama kelamaan membuat orang tidak lagi menganggap lagi tayangan tersebut bermasalah. Sehingga dapat pula secara sadar atau tidak sadar orang akan meniru apa yang telah ditanamkan oleh tayangan tersebut kepada mereka melalui televisi, karena dianggap sudah lumrah dan umum diketahui publik. Tidak lagi merasa tabu dan malu, terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pronografi, tidak takut pada hukum bila melakukan kekerasan dan tidak tahu ajaran agama yang benar karena sering melihat acara mistik supranatural, atau campur aduk antara kebenaran ilahi dan ajaran syirik.
Resistensi muncul diantara khalayak yang berada pada posisi negotiated atau oppositional reading, menerima dan memperhatikan atau menolak dengan cara mengganti saluran atau mematikan. Resistensi mewujud pula pada dalam bentuk praktik(mematikan, memindahkan saluran) atau gagsan (pembentukan wacana tandingan dengan wacana yang ditawarkan oleh tayangan televisi).
4. Karena itu, konsep rating tinggi pasti disukai khalayak, perlu dipertanyakan. Khalayak berbeda-beda presepsi terhadap tayangan televisi karena latar belakng budaya, pendidikan, keimanan, umur, kematangan diri. Patokan rating inilah yang memacu para stasiun televisi memperoduksi tayangan yang dipermasalahkan tersebut sebanyak-banyaknya, karena untuk memperoleh iklan dan masuklah keuntungan (kapitalistik). Akibatnya terbentuklah pola tontonan seperti sekarang ini.

REKOMENDASI
Perspektif aksi sosial memandang penggunaan media sebagai tindakan sosial dan menempatkan khalayak sebagai pihak sentral dn dominan dalam proses komunikasi massa. Khalayak diasumsikan pihak yang aktif dalam mempersepsi pesan-pesan komunikasi massa. Khlayak diasumsikan pihak yang aktif dalam mempersepsikan pesan-pesan komunikatif, terlibata dalam aktivitas berdasarkan tujuan mereka, minat, dan kepentingan-kepentingan. Persepsi ini bila dikaitkan dengan persepsi masyarakat dalam penelitian ini maka seyogyanya masyarakat dapat memilih dan menghindari tayangan yang dianggap tidak baik. Sebaliknya dia juga punya potensi mengambil informasi dan mempersepsinya dengan kepentingan dan tujuan mereka. Dengan kata lain dapat menjadikan tayangan tersebut sebagai inspirasi untuk berbuat atau meniru dari bentuk tayangan pornografi, kekerasan dan mistik supranatural. Kesemuanya dapat dilatar belakangi oleh kebiasaan, kondisi sosial ekonomi si pengguna media tesebut. Oleh karena itu, peranan media sendiri dalam menggiring masyarakat ke satu arah tujuan yang positif, dengan memberikan pesan-pesan yang baik dan positif, sangat penting pula.
Media televisi sebenarnya sangat ampuh untuk memberikan pesan-pesan yang dapat menanmkan moral yang baik kepada masyarakat dengan cara-cara yang baik pula. Memang uang sangat penting dalam menghidupi kelangsungan media tersebut, tetapi harus diambangi dengan kesadaran mendalam akan rusaknya moral bangsa yang nilainya sangat tinggi bagi kelangsungan berdirinya suatu negara. Televisi harus dapat mengangkat moral bangsa ketingkat yang lebih baik dan mulia, bukan mengumbar budaya massa yang brutal dan selera rendahan dengan mengeksploitasi tubuh kaum perempuan. Satu masyarakat akan meninggalkan televisi karena muak dan bosan.
Sebenarnya pihak-pihak yang terkait yakni pemerintah dan lembaga keagamaan seperti MUI telah berupaya mengeluarkan fatwa dan hal ini harus ditindaklanjuti dengan upaya meluruskan tayangan yang berdampak negatif. Upaya ini dapat dilakukan melalui kerjasama dengan pihak yang kompeten dalam membuat tema acara yang baik, baik para cendekiawan maupun seniman yang mempuntai selera seni tinggi dan bermoral.
Pedoman Perilaku dan Standart Program Siaran (P3 & SPS), dilengkapi dengan UU no.32 tentang Penyiaran dari Komisi Penyiaran Indonesia (2004) telah dibuat, namun tampaknya belum atau tidak ditaati an diambil peduli oleh stasiun televisi yang menayangkan program tersebut, karena mereka lebih mengejar kepentingan semata. Sampai kapan kondisi ini berlangsung, tergantung pada kuatnya tekad pemerintah untuk menangani hal ini secara tegas dan konsisten, demi memperbaiki moral secara keseluruhan.
Kebebasan pers jangan meniru apa yang terjadi pada negara maju, dengan dalih demokrasi maka meia massa dapat berbuat sebebas-bebasnya tanpa memperdulikan moral masyarakat. Kebebasan pers harus bertanggung jawab demi kelangsungan dan ketentraman masyarakat khususnya dan kejayaan bangsa pada umumnya.

1 komentar:

Miliana mengatakan...

bagus sekali artikelnya

axis

Posting Komentar