P
|
ada
bab ini, kita akan melihat bahwa apa yang disodorkan oleh biosentrisme dan
ekosentrisme sejak awal sudah dipraktifkan oleh masyarakat adat atau masyarakat
tradisional. Cara pandang mengenai manusia sebagai bagian integral dari alam,
serta perilaku penuh tanggung jawab, penuh sikap hormat dan peduli terhadap
kelangsungan semua kehidupan di alam semesta, telah menjadi cara pandang
masyarakat dunia.Etika lingkungan sesungguhnya menyadarkan kita untuk tidak
terperangkap dan terbuai oleh cara pandang antroposentris dan Cartesian untuk
kembali menghayati cara pandang ilmu pengetahuan dan kearifan masyarakat adat.
Atas dasar itu kita perlu meninjau sekilas kearifan atau pengetahun masyarakat
adat diberbagai belahan dunia. Tinjauan dipusatkan pada 3 hal. Pertama, cara pandang masyarakat tentang
dirinya, alam dan hubungan antara manusia dengan alam. Kedua, kekhasan pengetahuan tradisional yang dimiliki masyarakat
adat terhadap alam. Ketiga, hak – hak
masyarakat adat yang perlu dilindungi, karena dengan melindungi hak –hak mereka
tidak saja eksistensi masyarakat adat dilindungi, tetapi juga etika mereka serta
alam yang menjadi sasaran utama.
Kembali ke alam : Belajar dari
etika masyarakat adat
Pada bab ini kita akan melihat bahwa
apa yang disodorkan oleh biosentrisme dan ekosentrisme itu sesungguhnya suddah
sejak awal mula dipraktekkan oleh masyarakat-masyarakat adat dan
masyarakat-masyarakat tradisional si berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Cara pandang mengenai penuh tanggung jawab, penuh sikap hormat dan peduli
terhadap kelangsungan semua kehidupan di alam semesta , telah menjadi cara
pandang dan perilaku berbagai masyarakat adat di seluruh dunia.
Dalam konteks ilmu pengetahuan dan teknologi
modern, ketika bisentrisme dan ekosentrisme , khususnya Deep Ecology mendorong
kita untuk meninggalkan cara pandang yang antroposentrisme. Dan ketika cara
pandang kita meninggalkan cara pandang Cartesian, kita diajak untuk kembali ke
etika masyarakat adat,.
Atas dasar itu, kita perlu meninjau
sekilas kearifan lokal masyarakat di berbagai belahan dunia tentang manusia,
alam, dan hubungan ,manusia dengan alam. Tinjauan akan dipusatkan pada tiga
hal. Pertama cara pandang manusia dan alam. Kedua, kekhasan pengetahuan
tradisional yang dimiliki masyarakat adat, sekaligus menentukan pola hidup dan
perilaku masyarakat adat yang perlu dilindungi, karena dengan melindungi
hak-hak merea, tidak saja eksistensi masyarakat adat dilindungi, tetapi juga
etika mereka serta alam yang menjadi sasaran utama etika tersebut terlindungi.
1.
Manusia
dan Alam
Menurut
definisi yang diberikan oleh UN Economic and Social Council, masyarakat adat
atau tradisional adalah suku-suku dan bangsa yang karena mempunyai kelanjutan
historis dengan masyarakat sebelum masuknya penjajah di wilayahnya yang
menganggap dirinya berbeda dari kelompok lain yang hidup di wilayah mereka.
Ada
beberapa ciri yang membedakan masyarakat adat dari kelompok masyrakat lain.
Pertama, mereka mendiami tanah-tanah milik nenek moyangnya, baik seluruhnya
atau sebagian. Kedua, mereka mempunyai garis keturunan yang sama, yang berasal
dari daerah tersebut. Ketiga, mereka mempunyai budaya khas, yang mempunyai
agama., sistem suku, pakaian, tarian, cara hidup, peralatan hidup sehari-hari,
termasuk mencari nafkah. Keempat, mereka mempunyai bahasa sendiri. Kelima,
biasanya mereka hidup terpisah dari kelompok masarakat lain dan menolak atau
bersikap hati-hati terhadap hal-hal baru yang berasal dari luar komunitasnya.
Hal
yang paling fundamental dari perspektif
etika lingkungan adalah kesamaan pemahaman dari semua masyarakt seluruh
dunia yang memandang dirinya, alam, dan relasi diantara keduanya dalam
perspektif religius,perspektif spiritual.
Kesimpulan
smentara yang dapat ditarik , yang dapat disebut dengan komunitas oleh
masyarakat adat adalah komunitas ekologis, bukan hany komunitas sosial manusia.
Sebagaimana dipahami masyarakat Barat atas pengaruh Aristoteles. Masyarakat
adat memandang dirinya sebagai bagian integral dari komunitas ekologis,
komunitas alam. Oleh karena itu bisa
dipahami bahwa cara berpikir, berpeerilaku, dan seluruh ekspresi serta
penghayatan budaya masyarakat adat sanagt diwarnai dan dipengaruhi oleh relasi
dengan alam sebagai bagian dari hidup dan eksistensi dirinya.
Yang
dikenal sebagai etika dan moralitas adalah etika dan moralitas yang berlaku
untuk seluruh komunitas ekologis. Artinya, perilaku moral bukan hanay berlaku
untuk relasi dengan alam, dengan makhluk hidup lain. Sikap dan perilakunya
terhadap alam yang berarti baik buruk perilau mereka terhadap alam, sangat
menetukan nasib hidupnya sebagi manusia.
2.
Kearifan
Tradisional
Yang
dimaksudkan kerifan tradisional disini adalah semua bentuk pengetahuan,
keyakinan, pemahaman suatu wawsan serta adat istiadat atau etika yang menuntun
perilaku manusia dalam komunitas
ekologis. Jadi kearifan tradisional ini bukan hanya menyangkut pengetahuan dan
pemahaman masyarakat adat tentang manusia. Melainkan juga menyangkut
pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam, dan bagaimana
relasi di antara semua penghuni komunitas ekologis ini harus dibangun.
Ini
menunjukkan bahwa pertama, kearifan tradisional adalah milik komunitas. Kedua,
kearifan tradisional yang juga berarti pengethuan tradisional lebih bersifat
praktis atau “pengetahuan bagaimana”. Ketiga, kearifan tradisional bersifat
holistik,karena menyangkut pengetahuan dan pemahaman tentang seuruh kehidupan
dengan segala relasinya di alam semesta.
Keempat, berdasarka kearifan tradisional dengan ciri seperti itu,
masyarakat adat juga memahami semua aktivitas nya sebagai aktivis moral.
Kelima, berbeda dengan ilmu pengetahuan Barat yang mengklaim dirinya sebagai
universal, kearifan tradisional bersifat lokal, karena terkait dengan tempat
yang partikular dan konkret. Kearifan dan pengetahuan tradisional selalu
menyangkut pribadi seseorang yang partikular (komunitas masyarakat adat itu
sendiri), alam, dan relasinya denngan alam itu.
Mengapa
kearifan tradisional yang dikenal di seluruh dunia mengalami erosi, kalau bukan
punah? Ada beberapa pertanyaan disini. Pertama, terjadi proses desakralisasi
alam oleh invasi dan dominasi ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Kedua, alam tidak bernilai sakral,
tapi memiliki nilai keekonomisan yang tinggi. Ketiga, dominasi filsafat dan
etika Barat yang bersumber dari Aristoteles dan diperkuat oleh paradigma ilmu
pengetahuan yang Cartesian telah menguburkan dalam-dalam etika masyarakat adat.
Keempat,
hilangnya keanekaragaman hayati. Kelima, hilangnya hak-hak masyarakat adat,
termasuk hak untuk hidup dan bertahan sesuai dengan identitas dan keunikan
tradisi budayanya.
3.
Hak-hak
masyarakat adat.
Salah satu ironi
dari perkembangan peradaban manusia adalah pembangunan dan modernisasi
dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia termasuk masyarakat
adat, tetapi justru lebih sering
masyarakat adat menjadi korban dari pembangunan dan modernisasi tersebut. Lebih
ironis lagin, masyarakat adat bahkan menjadi korban dari proyek konservasi dan
perlindungan lingkungan serta, peneitia ilmiah dan komersial.
Ini terjadi
karena. Pertama, ideologi developmentelisme tidak memasykkan lingkungan hidup
dan pelestarian kekayaan sosial budaya sebagai bagian integral dari
seluruh program pembangunan. Kedua,
arogansi dan kesalahan persepsi masyarakat modern yang menganggap masyarakat
adat sebagai perusak lingkungan hidup yang harus disingkirkan atau direlokasi
demi menyelamatkan lingkungan. Ketiga, alam hanya dilihat dari segi nilai
sosial, budaya, spiritual, dan moral yang terkait dengan kehidupan masyarakat
adat disekitarnya. Keemat, modernisasi dan kemajuan peradaban dilihat dan
diukur terutama berdasarkan kualitas fisik-ekonomis.
Untuk melindungi
keberadaan masyarakat adat beserta seluruh kekayaan tradisi budayanya, termasuk
keaarifan tradisionalnya dan dalam rangka itu melindungi keanekaragaman
hayati-beberapa hak masyarakat adat berikut ini perlu diakui, dijamin, dan
dilindungi. Pertama, hak untuk menetukan diri sendiri. Kedua, hak atas teritori
dan tanah. Ini penting karena teritori dan tanah terkait secara langsung dengan
eksistensi mereka. . Ketiga, hak atas kolektif. Masyarakata adat menekankan
tanggung jawab komunal atas nasib hidup sesamanya dalam kelompok
budayanya. Keempat, hak atas budaya.
Budaya dalam masyarakata dat mencakup segala-galanya, termasuk pengetahuan dan
kearifan tradisional, dan sebagainya. Kelima, masyarakat adat mempunyai hak
untuk menganut sistem kepercayaan serta nilai-nilai religius dan moral mereka sendiri, tidak boleh dilanggar.
Keenam, hak untuk tidak dierlakukan secara diskriminatif. Dengan ini masyarakat
adat mempunyai posisi hukum yang sama dan sederajat dengan masyarakat dan
manusia lain. Ketujuh, masyarakat adat mempunyai hak untuk berpartisipasi
secara penuh dalam proses politik dan
menyangkut kepentingan bersama semua kelompok masyarakat.kedelapan,
hakuntuk memperoleh ganti rugi atas setiap kegiatan yang menimbulkan dampak
merugikan bagi lingkungan hidupmn dan nilai-nilai sosial, budaya, spiritual dan
moral masyarakat adat.
Secara khusus,
masyarakat etnobiologi Internasional telah menetapkan prinsip-prinsip
‘Kemitraan Setara’ dalam rangka kegiatan penelitian mereka yang melibatkan
masyarakat adat. Beebrapa prinsip tersebut adalah pertama, prinsip penentuan
nasib sendiri. Kedua, pengakuan atas hak-hak masyarakat adat tidak bisa
dirampas dan diambil. Ketiga, prinsip dampak minimum, dalam pengertian
pengakuan atas kewajiban ilmuwan dan peneliti untuk menjamin bahwa kegiatan
penelitian dan kegiatan lain dilakukan tidak berdampak serius bagi masyarakat
adat. Keempat, prinsip keterbukaan, yaitu jaminan bahwa setiap peneliti harus
memberi tahu masyarakat adat tentang bagaimana kegiatan penelitiannya
dilakukan, bagaimana informasi dikumpulkan, dan tujuan akhir dari pengumpulan
informasi itu dan untuk kepentingan siapa. Kelima, prinsip persetujuan awal,
dalama pengertian sebelum melakukan kegiatan penelitian peneliti harus terlebih
dahulu mendapatkan persetujuan, atau sebaliknya penolakan dari masyarakat adat
bahwa mereka tidak berkeberatan dia melakukan penelitian di daerahnya itu.
Keenam, prinsip konfidensialitas, yaitu komitemn peneliti untuk tidak
membocorkan rahasia tertentu yang diperolehnya dari masyarakat adat selama
penelitian, kalau masyarakat adat mengehendaki utnuk dirahasiakan. Ketujuh,
prinsip partisipasi aktif . Kedelapan, prinsip sikap hormat. Kesembilan,
prinsip perlindungan aktif. Kesepuluh, prinsip kompensasi dan restitusi, yang
menuntut agar peneliti perlu memberikan ganti rugi yang memadai terhadap setiap
kerugian yang dialami masyarakat asli karena kegiatan penelitiannya memulihkan
kerugian tersebut. Kesebelas, prinsip pembagian yang adil, yang menuntut aga
setiap keuntungan yang diperoleh dari kegiatan penelitian tersebut baik melalui
publikasi atau bentuk-bentuk lainnya harus dinikmati pula secar adil oleh
masyarakat asli.
Oleh karena itu,
persoalan perlindungan terhadap etika masyarakat adat tidak bisa dilepaskan
dari persoalan kolonialisasi dan imperialisme dunia kehidupan masyarakat baarat
atas masyarakat negara-negara sedang berkembang. Kolonialisme memang sudah
berakhir, akan tetapi kolonialisme dalam bidang kehidupan khususnya dunia ilmu
pengetahuan dan teknologi serta ekonomi, masih berlangsung secara tidak
bermoral.
1 komentar:
Main judi bola dengan presentase kemenangan tertinggi
Secara khusus, masyarakat etnobiologi Internasional telah menetapkan prinsip-prinsip ‘Kemitraan Setara’ dalam rangka kegiatan penelitian mereka yang melibatkan masyarakat
Posting Komentar