Istilah budaya konsumen adalah isu sentral dalam masyarakat kapitalisme. Kapitalisme adalah corak produksi baru setelah feodalisme yang memasalkan produksi untuk dikonsumsi masyarkat. Berbeda dengan corak produksi feudal, tempat masyarakat berproduksi secara individual dengan alat produksi sederhana untuk mencukupi kebutuhan sendiri, bukan untuk dijadikan komoditas sebagaimana dalam kapitalisme. Dalam hal ini, budaya konsumen dibedakan dengan tindakan mengonsumsi yang memang tidak selalu ada dalam setiap masyarakat. Setiap menghasilkan suatu barang, tentu tujuannya adalah dipakai (dikonsumsi). Maka, budaya konsumen dikaitkan dengan meningkatnya tujuan manusia untuk mengonsumsi yang bukan disebabkan semata karena fungsi dan manfaat barang (produk), melainkan ada aspek emosi dan larutnya individu dalam budaya massa yang dipicu oleh iklan dan rayuan untuk membeli komoditas yang dilakukan secara masif.
Jadi, budaya konsumen adalah jenis dari “budaya materi” (material culture). Hal ini berangkat dari watak universal manusia yang berusaha mencukupi kebutuhan materialnya. Dalam hal ini, sebagaimana diargumenkan konsumsi yang terjadi dalam semua masyarakat berada “ diluar perdagangan” atau tidak terbatas pada perdagangan semata, tetapi selalu merupakan gejala budaya sebagaimana halnya sebuah gejala ekonomi. Di masyarakat mana pun, dari dulu hingga sekarang, tampaknya kegunaan benda-benda selalu berkaitan dengan budaya, artinya, benda-benda material bukan hanya berguna untuk melakukan sesuatu, malainkan juga mempunyai makna dalam hubungan sosial.
Dewasa ini, budaya konsumen berkaitan dengan ekspansi produksi komoditas kapitalis yang memunculkan akumulasi besar-besaran budaya dalam bentuk barang-barang konsumen dan tempat belanja konsumsi. Budaya konsumen harus diciptakan dengan cara “mendidik” agar public konsumtif membangun pasar-pasar baru agar produk laku dan kapitalis mendapatkan keuntungan besar.
Akan tetapi, pandangan culture studies mengenai masalah ini tidak berpijak pada analisis manajemen rasional yang kurang memerhatikan terbentuknya suatu proses emosi dan ide dan pemaknaan terhadap barang. Ada dominasi nilai tukar yang mencoba menghapuskan ingatan tentang nilai manfaat benda yang membuat komoditas menjadi bebas untuk mengambil nilai manfaat sekunder atau nilai manfaat semu. Dengan demikian, komoditas bebas mengambil berbagai macam asosiasi dan ilusi budaya. Periklanan secara khusus mampu mengeksploitasi kondisi ini dan memberikan citra-citra pada komoditas, lewat iklan.
Jean Baudrillard menggunakan pendekatan semiologi untuk menegaskan bahwa konsumsi membutuhkan manipulasi sinyal-sinyal secara aktif. Manipulasi ini menjadi hal penting dalam masyarakat kapitalis baru ketika sinyal dan komoditas secara bersama menghasilkan “sinyal-sinyal komoditas (commodity-sign)”. Melalui manipulasi sinyal dalam media periklanan, misalnya otonomi pemberi arti (signifier) mengartikan bahwa sinyal mampu mengalir bebas dari objek dan tersedia untuk digunakan dalam suatu keragaman hubungan asosiatif. Pendekatan Baudrillard ini menggantikan penekanan Marx (terhadap kapitalisme) yang materialistik menjadi analisa budaya. Ia menekankan pada reproduksi, untuk reduplikasi sinyal, citra, dan simulasi yang berjalan terus menerus melalui media yang menghapuskan perbedaan antara citra dan realitas. Over produksi sinyal-sinyal, reproduksi citra dan simulasi menyebabkan hilangnya arti yang tetap serta estetisikasi realitas dimana-mana menjadi terpesona oleh arus penjajaran yang berbahaya yang berjalan tanpa hentinya yang membuat pemirsa kehilangan perasaannya yang mapan.
Sementara itu, pendiri cultural studies Inggris Raymond Williams (1976) mengungkapkan bahwa salah satu pemakaian terbaru dari “mengonsumsi” adalah merusak (to destroy), memakai (to use up), membuang-buang (to waste), dan menghabiskan ( to exchaust). Artinya, konsumsi sebagai pembuang-buangan, perbuatan yang berlebih-lebihan, dan pengeluaran menunjukkan satu kondisi paradoksikal dalam penekanan produksionis dari masyarakat masyarakat kapitalis dan sosialis Negara yang harus dikontrol dan disalurkan.
Kebutuhan artifisial membuat para konsumen tidak dibuat untuk menjadi rasional atau instrumenta dalam memanfaatkan produk. Iklan menampilkan produk dalam tampilan yang memikat membeli barang sebagai cara untuk menunjukkan status, tak lepas dari rayuan iklan.
Efek budaya konsumen telah mendapatkan reaksi dari berbagai kalangan. Budaya konsumen umumnya ditunjuk sebagai sangat destruktif bagi agama dalam kaitannya dengan penekanannnya pada hedonisme, pengejaran kesenangan disini dan saat ini (here and now), penanaman gaya ekspresif, peningkatan watak naristik dan kepribadian egoistik. Konsumerisme telah mengakibatkan pemiskinan spiritual dan kedirian hedonistik dengan filsafatnya “nikmati sekarang, bayar belakang (live now, pay later)”. Budaya konsumen yang kian ekspansif juga dituduh merusak mental anak-anak dan remaja sehingga mereka malas belajar dan teracuni dengan ideology hedonisme dan pragmatis.
0 komentar:
Posting Komentar