Subscribe:

Labels

Minggu, 25 Desember 2011

Teori Sosial Postmodern, Sosiologi dan Teori Sosiologi

DEFINISI POKOK
Judith Butler (1995:51) mengatakan tidak hanya bagi kalangan postmodernis saja, tetapi juga kalangan modern ketika dia memberitahukan: “saya tidak tahu apa itu postmodernisme”. Meskipun hingga saat ini tidak ada konsep yang lebih bergema di antara ilmuwan dalam tingkatan disiplin yang luas kecuali “postmodernisme”, namun ada ambiguitas yang besar dan kontroversial apa yang dimaksud dengan gagasan dan istilah yang terkait. Oleh sebab itu untuk menambah kejernihan, kita perlu membedakan antara teori sosial postmodernitas, postmodernisme, dan postmodern.
Postmodernitas merujuk pada suatu epos, jangka waktu, zaman, masa-sosial dan politik yang biasanya terlihat mengiringi era modern dalam suatu pemamahan historis (Kumar, 1995; Crook, Pakulski, dan Waters, 1992)
Postmodernisme merujuk pada suatu produk kultural (dalam sejarah, film, arsitektur, dan sebagainya) yang terlihat berbeda dari produk kultural modern (Kumar, 1995; Jameson, 1991)
Teori sosial postmodern merujuk pada bentuk teori sosial yang berbeda dari teori social modern (Best dan Kellner, 1991)
Jadi ide postmodern meliputi suatu espos historis baru, produk kultural baru, dan tipe teorisisasi baru mengenai dunia sosial. Semua elemen postmodern tersebut tentu saja memiliki suatu perspektif yang baru dan pada tahun-tahun terakhir tejadi perbedaan (secara sosial, kultural dan intelektual) yang mana perkembangan postmodern baru tersebut barangkali menjadi alternatif menggantikan realitas-realitas modern.
Poin yang pertama adanya kepercayaan luas bahwa era modernitas berakhir atau sudah berakhir, dan kita sudah masuk dalam epos sosial baru yaitu postmodernitas (Dunn, 1991). Ada banyak cara untuk mengkarakterisasikan perbedaan-perbedaan antara dunia modern dan postmodern, sebagai suatu ilustrasi; salah satunya yang terbaik adalah perbedaanya dalam sudut pandang, apakah ada kemungkinan menemukan suatu solusi rasional (rasionalitas merupakan konsep yang secara dekat diasosiasikan dengan modernitas [Dahrendorf, 1979]) terhadap solusi persoalan-persoalan masyarakat.
Sebagian besar postmodernis kesulitan dan bahkan enggan membicarakan transisi historis dari modernitas ke postmodernitas. Ini merupakan sejenis narasi besar yang sudah diketahui mereka menolaknya. Bagi para postmodernis sesuatu yang jarang itu mungkin pernah berkembang dalam suatu makna yang sederhana dan linear. Menurut mereka, hal itu sangat menjauhkan kemurnian dan menyederhanakan perbedaan antara epos historis. Jadi, meskipun boleh saja memikirkan suatu transisi dari modernitas ke postmodernitas, tatapi banyak dari pemikiran ini didorong oleh teori sosial postmodern. Sedikit, jika tidak sama sekali teoritisi postmodern menerima kesederhanaan, linear dan narasi besar semacam itu. Mereka sepakat bahwa sesuatu yang terjadi, sesuatu yang berubah, itu bukanlah hal sederhana dan linear.
Kedua, postmodernisme tidak dapat dipisahkan dari domain kultural ketika ia menguraikan bahwa produk postmodern cenderung menggantikan produk modern.  Ketiga. Yang langsung berhubungan dengan kita disini, adalah kemunculan teori sosial postmodern dan perbedaannya dengan teori modern. Secara umum, teori sosial modern cenderung menjadi absolute, rasional, dan menerima posibilitas penemuan kebenaran. Sebaliknya teori sosial postmodern cenderung menjadi relatifistik dan terbuka kemungkinan irrasionalitas. Tetapi sebagaimana yang menjadi masalah dalam teori sosial modern, tidak semua teori sosial postmodern seperti itu. 

APAKAH TEORI SOSIAL POSTMODERN ITU?
Mulanya, Pauline Rosenau mendefinisikan teori postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan. Terutama sekali dan sangat nyata, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Karena peristiwa yang mengerikan selama abad ke duapuluh. Postmodern menanyakan bagaimana seorang dapat percaya bahwa modernitas dapat membawa kemajuan dan harapan bagi masa depan yang lebih cemerlang. Karenanya postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas.
Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), totalitas dan sebagainya. Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang mereka terapkan. Setidak-tidaknya beberapa postmodernis menciptakan narasi besar sendiri. Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut.
Ketiga, pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti “emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentiment keagamaan, dan pengalaman mistik”.
Keempat, teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, “budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas”. Maka, kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung mengembangkan satu atau lebih batas tertentu dan menyarankan bahwa yang lain mungkin melakukan hal yang sama.
Kelima, banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar. Tujuan utama postmodern acapkali mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif. Hal ini juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis.
Akhirnya, postmodern bukannya memfokuskan pada inti masyarakat modern, namun teoritisi postmodern mengkhususkan perhatian mereka pada bagian tepi.  “perihal apa yang telah diambil begitu saja, apa yang telah diabaikan, daerah-daerah resistensi, kealpaan, ketidakrasionalan, ketidaksignifikasian, penindasan, batas garis, klasik, kerahasiaan, ketradisionalan, kesintingan, kesublimasian, penolakan, ketidaksensian, kemarjinalan, keperiferian, ketiadaan, kelemahan, kediaman, kecelakaan, pembubaran, diskualifikasi, penundaan, ketidakikutan” (Rosenau, 1992:8 dalam Ritzer 2010:20).
Sebagaimana Rosenau pahami, teoritisi postmodern “menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity), perbedaan daripada sintesis dan kompleksitas daripada simplifikasi.

KELEMAHAN SOSIOLOGI DAN TEORI SOSIOLOGI
Teori sosial postmodern mengembangkan sebagaian besar sisi luar sosialogi dan teori sosiologi. Akan tetapi, ilmu pengetahuan sosial secara umum, dan sosiologi secara khusus, mudah terkena serangan teori sosial postmodern dalam pelbagai dasar. Banyaknya kelemahan tersebut dapat diusut pada penerimaan skala luas model saintifik modern dalam ilmu-ilmu sosial dan sosiologi secara khusus. Pertama, banyak sosiologi tidak sabar dengan kegagalan keilmuan mereka terutama yang berhubungan dengan keyakinan hasil yang menjanjikan. Kedua, meningkatnya kesadaran bahwa ilmu yang telah diciptakan sangat responsif pada kebutuhan kekuasaan dan cenderung mendukung posisi mereka di tengah masyarakat.
Ketiga, meningkatnya penelitian yang menunjukkan ketidaksesuaian yang sangat besar antara penerapan cara ilmu seperti yang diharapkan dan cara yang sebenarnya berfungsi. Keempat, keberlanjutan bahkan termasuk percepatan persoalan sosial yang banyak yang semakin jelas bahwa ilmu pengetahuan bukanlah jawabannya. Kelima, ilmu pengetahuan meminimalisasi bahkan meremehkan pentingnya aspek metafisik dan mistik dari kehidupan sosial. Dan yang terakhir adalah ilmu pengetahuan memberikan sedikit atau tidak sama sekali pertanyaan-pertanyaan normatif atau etik atau pertanyaan apa yang sebenarnya dilakukan.
Fuchs dan Ward menyatakan bahwa sosiologi merupakan salah satu bidang kajian pada hal-hal tertentu lemah terhadap kritik postmodern karena sosiologi berparadigma ganda (multyparadigmatic), rangkaiannya yang longgar, terdesentralisasi dan didominasi oleh teks dan “percakapan” diantara para sarjana. Lebih khusus lagi dijelaskan oleh Fuchs dan Ward bahwa sosiologi lemah pada wajah garang dekonstruksionisme. Karena dekonstruksi merupakan salah satu pendekatan kunci postmodernisme terhadap pengetahuan, termasuk juga terhadap teori.
Para dekonstruksionis menggunakan satu bagian teks untuk menunjukkan asumsi dasar dan kontradiksinya. Lebih umum lagi bahwa dekonstruksionisme bertujuan menyingkirkan rongsokan kekusutan teori yang lalu yang telah melekat pada praduga (preconception) yang dianggap tidak bisa lagi diterapkan dalam dunis kontemporer. Tetapi, tujuan dekonstruksionisme bukan kemudian berkedok bentuk revisi, bentuk perbaikan, dan bentuk yang lebih benar. Jadi tugas-tugas rekonstruksi seperti itu tidak berlaku karena para dekonstruksionis menolak gagasan bahwa kebenaran mutlak bisa ditemukan. Tidak ada jawaban mutlak, hanya ada banyak interpretasi, banyak teks yang “dibaca”. Dalam arti lain, hanya yang benar-benar fenomena yang didekonstruksi oleh para dekonstruksionis.
Dalam pandangan Fusch dan Wards bahwa bidang kajian tekstual seperti sosiologi rapuh terhadap wajah beringas dekonstruksi, ada tipe-tipe bidang kajian lain di samping teks yang menggunakan alat lain produksi intelektual, seperti simbolisme matematik, rencana-rencana teknik, peralatan eksperimen dan sejenisnya. Bidang seperti itu, menurut Fucsh dan Wards, merupakan suatu subjek dekonstruksi yang sangat lemah, padahal meskipun disepakati bahwa tidak ada satu kebenaran atau posisi keinstimewaan epistemologis, namun sains beralih pada dasar ketentuan-ketentuan dan kriteria pokok. Sebaliknya, bidang-bidang seperti subjuek sosiologi terhadap bentuk kuat dekonstruksi cenderung pada situasi di saat “segala sesuatunya lenyap”. Karena semuanya adalah teks, maka semuanya adalah subjek dekonstruksi dan reintrepetasi. Jadi tidak ada “kebenaran” tunggal kandungan intepretasi data yang berasal dari berbagai teks.
Seidman, seorang tokoh yang berpaling dari ilmu-ilmu sosial dan sosiologi khususnya, ia mengasosiasikan teori sosiologi dengan modernisme dan menghubungkannya dengan sejumlah karakteristik modern, khususnya saintisme, fondasionisme, totalisasi, esensialisme dan kepicikannya, yang menyebabkan mudah diserang oleh teoretisi sosial postmodern. Pertama, teori sosiologi dituduh sebagai saintisme. Karena itulah, sebagian besar teoretisi sosiologi mempercayai ide universal, jika tidak hukum-hukum sosial. Telah disepakati suatu pandangan bahwa ada akumulasi kandungan ilmu pengetahuan teoretis dan tugas praktisi kontemporer yang salah satunya adalah untuk menambahkan kandungan ilmu pengetahuan teoretis atau mengembangkannya agar bergerak pada tingkat yang stabil, dan dari tempat itu ia sekali lagi bisa memulai proses akumulasi.
Kedua, teori sosiologi dimengerti sebgaia fondasional. Fondasionalisme mencari garis pedoman dasar untuk tingkah laku sosial dan analisa sosial dalam sebuah fondasi filososif yang kuat. Seidman menjelaskan bahwa teori sosiologi bermaksud membongkar logika masyarakat bahwa tujuannya adalah untuk menemukan satu kebenaran kosa kata yang mencerminkan dunia sosial. Ketiga, teori sosilogi cenderung menyepakati sebuah totalisasi pandangan dunia (world view). Sejarah teori sosiologi dikarakterisasikan dengan konflik diantara persaingan totalisasi. Sebagai contoh, proses teori Marx yang menyebabkan revolusi proletarian versus teori progresif rasionalisasi Weber. Untuk hegemoni, dan tidak ada totalisasi tunggal yang pernah memperoleh keunggulan dalam teori sosiologi.
Keempat, teori-teori sosiologi dianggap sebagai esensialis, oleh sebab itu, mereka cenderung melihat manusia sebagai orang yang memiliki karakteristik dasar, rapi dan tidak berubah. Fenomena sosial dipandang sebagai ekspresi esensi-esensi ketimbang sebagai sebuah produk kondisi sosial tertentu. Sebagai contoh pemahaman Marx tentang spesies manusia. Konsep para esensialis gagal menilai perbedaan-perbedaan berdasarkan orientasi “gender, ras, etnisitas, kelas, atau orientasi seksual”. Teori sosiologi dipandang seperti sesuastu yang asing, karenanya yang terlibat dengan persoalan-persoalan tersebut hanyalah teoretisi sosiologi. Dalam lain arti, teori sosiologi makin menjadi metateoretis, disebabkan oleh titik pusat dan perselisihannya. Seidman menegaskan bahwa teori sosial menggambarkan alternatif yang nyata bagi teori sosiologi. Teori sosiologi tidak hanya berorientasi pada pemahaman persoalan-persoalan secara lebih baik, tetapi juga berdampak pada produk-produk sosial. Teori sosial tidak dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan teoretisi asing, tetapi oleh moral, sosial dan politik.
Namun, Antonio membantah bahwa dari sudut pandang postmodernisme, sekurang-kurangnya dari sudut pandang kebanyakan postmodernis radikal, Seidman tidak berpikir terlalu jauh. Kenyataannya, dari sudut yang lebih menguntungkan, Seidman terlihat tidak banyak mengkritisi proyek sosiologi modernis dan teori sosial, bahkan mirip dengan yang lain, meskipun memiliki perbedaan tipis dari praktisi teori sosiologi. Teori sosiologi telah meninggalkan pelbagai keharusan penyelidikan pemikiran postmodern. Mengingat postmodernis mengatakan sesuatu, sesuatu yang kedengarannya seperti teori. Tidak dapat dipungkiri bahwa sangat perlu untuk mengetahui teori postmodern telah mendiami posisi yang luas dan satu sama lain sering terjadi konflik. Ada kebutuhan mendesak untuk memisahkan pelbagai ide yang terdapat dalam postmodernisme. Seperti yang telah ditunjukkan sebelumnya, meskipun semuanya mengkritisi teori-teori besar, namun banyak para postmodernis yang melakukan hal itu. 

MAKLUMAT TEORI SOSIAL POSTMODERN DALAM SOSIOLOGI
Teori sosial postmodern merupakan bagian tradisi sosiologi klasik (kontemporer). Salah satu contohnya, kajian reintrepetasi Georg Simmel dalam bukunya yang berjudul Postmodern (ized) Simmel, dia menawarkan bahwa sebuah narasi besar dari kecenderungan historis kepada dominasi budaya objektif atau “tragedi budaya”. Namun Weinstein dan Weinstein membantah bahwa sebuah persoalan yang sama besar bisa diciptakan Simmel ketika dia berposisi sebagai seorang postmodernis. Jadi, Weinstein dan Weinstein mengetahui bahwa kedua alternatif itu memiliki keabsahan (validity) dan tidak bisa dibantah, yang satu tidak terlalu benar dari yang lain.
Alasan singkat Weinstein dan Weinstein membela pandangan Simmel sebagai seorang postmodernis adalah untuk satu hal bahwa Simmel menentang totalitas yang tentu saja ia menolak de-totalitas modernitas. Walaupun, satu sisi dari teori “tragedi kultural”, Simmel merupakan seorang essais dan pendongen, namun dia mengupas berbagai macam persoalan khusus ketimbang membahas persoalan totalitas dunia sosial. Simmel diceritakan oleh Weinstein dan Weinstein seperti seorang sosiolog yang membuang-buang waktunya hanya untuk menganalisa fenomena sosial yang sangat luas. Pendekatan ini menjauhkan Simmel dari pandangan totalitas dunia dan lebih menitikberatkan pada bagian-bagian dunia yang khas, namun penting.
Bricoleur adalah istilah lain yang dipakai untuk menggambarkan Simmel. Bricolur merupakan seorang intelektual handyman (orang yang ahli dalam berbagai macam pekerjaan) yang menciptakan segala sesuatunya menjadi kenyataan (available). Menurut Simmel sesuatu yang nyata adalah bagian-bagian dunia sosial yang sangat luas atau “serpihan-serpihan kultur objektif” sebagaimana Weinstein dan Weinstein menggambarkan dalam terma Simmelian. Sebagai seorang bricoleur Simmel merangkum apapun ide-ide guna membuka makna mengenai dunia sosial.
Untuk menengok maklumat postmodern di antaranya adalah kritik teori modern dalam teori sosiologi.  Satu hal, Mills sebenarnya menggunakan istilah “postmodern” untuk menjelaskan era post-enlightenment yang sedang berjalan. Mills adalah seorang kritikus besar dari teori besar modern dalam sosiologi, khususnya seperti yang telah diamalkan oleh Talcott Parson. Secara sosial dan moral Mills senang menggunakan sosiologi. Dalam pemahamannya, dia ingin sosiologi dikaitkan dengan persoalan masyarakat luas pada masalah yang sangat pribadi. Meskipun pada kajian Mills ada sugesti postmodernisme, namun tidak ditemukan teori postmodern itu sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar