Subscribe:

Labels

Minggu, 25 Desember 2011

Tubuh Sosial

Tubuh mulai menjadi perhatian ilmu sosial mulai abad 19. Antropologi menjadi disiplin yang sejak awal kelahirannya sudah meletakkan tubuh sebagai bagian penting. Itu terjadi karena sedari kemunculannya antropologi berada dalam tekanan kolonialisme yang membebaninya tugas mencari unsur-unsur yang jadi persamaan semua kebudayaan untuk mengurangi relativitas sosial dan budaya. Istilah human universal (yang dipersempit menjadi culture universal) lantas menemukan tubuh manusia berikut asal-usul dan gerak-geriknya sebagai common denominator bagi berbagai kelompok.
Antropologi juga menjadi dispilin yang paling awas terhadap peran tubuh masyarakat pramodern. Tubuh adalah penanda penting bagi status sosial, posisi keluarga, umur, gender, dan hal-hal yang bersifat religius. Gerak tubuh dalam pelbagai ritus hingga tatto menjadi tematik yang penting dalam setiap studi atas kebudayaan-kebudayaan pramodern atau primitifyang dilakukan para antropolog.
Sejak itulah tubuh tak lagi dipahami semata sebagai anasir fisikal melainkan juga sosial (the physical body is also social). Banyak teori yang muncul berkaitan “tubuh sosial” ini. Robert Hertz percaya bahwa tubuh merefleksikan pola pikir masyarakat. Marcel Mauss bahkan yakin kalau pengetahuan ihwal bagaimana masyarakat menggunakan tubuhnya adalah cara paling strategis untuk mengetahui sebuah peradaban. Mary Douglas meyakini tubuh sebagai suatu sistem simbol. Dalam buku Purity and Danger (1966), Mary melontarkan tese, “Sebagaimana segala sesuatu melambangkan tubuh, demikian tubuh juga adalah simbol bagi segala sesuatu”.
Tubuh manusia sudah jadi topik penting dalam kajian antropologi sejak awal abad ke-19. Ada empat alasan yang bisa menjelaskan kenapa tubuh menempati posisi penting dalam antropologi:
1.      Pembahasan antropologi filsafat tentang tema ontologi manusia. Tema ini otomatis menempatkan perwujudan bentuk manusia dalam posisi sentral.
2.      Asal-usul manusia yang berasal dari spesies mamalia adalah pertanyaan penting dalam antropologi. Apakah yang kemudian membatasi alam dan kebudayaan?
3.      Sejak masa Victoria telah berkembang telaah evolusi dalam antropologi (darwinisme sosial), yang memberi kontribusi pada studi tubuh.
4.      Karena dalam masyarakat pramodern tubuh adalah penanda penting bagi status sosial, posisi keluarga, umur, gender, dan hal-hal yang bersifat religius.
Abad baru, dengan pandangan tentang tubuh yang baru, membuat para antropolog berhenti untuk melihat tubuh secara fisik dan mulai melihat tubuh sebagai alat untuk menganalisa masyarakat. Margaret Mead misalnya mengatakan bahwa pembedaan kepribadian dan aturan-aturan dari dua jenis seks yang berbeda itu diproduksi secara sosial. Robert Hertz percaya bahwa pola pikiran masyarakat terefleksikan dalam tubuh. Persoalan-persoalan kosmologi, gender, dan moralitas mewujud menjadi persoalan-persoalan yang dialami tubuh. Tubuh fisik adalah juga tubuh sosial (the physical body is also social). Menurut Marcel Mauss cara untuk mengetahui peradaban manusia lain adalah dengan mengetahui bagaimana masyarakat itu menggunakan tubuhnya. Tubuh adalah instrumen yang paling natural dari manusia, yang dapat dipelajari dengan cara yang berbeda sesuai dengan kultur masing-masing.
Mary Douglas adalah orang pertama yang melihat tubuh sebagai suatu sistem simbol. Dalam bukunya Purity and Danger (1966) ia mengatakan, “Sebagaimana segala sesuatu melambangkan tubuh, demikian tubuh juga adalah simbol bagi segala sesuatu”. Dan dalam Natural Symbols (1970) ia membagi tubuh menjadi dua: the self (individual body) dan the society (the body politics). The body politics membentuk bagaimana tubuh itu secara fisik dirasakan. Pengalaman fisik dari tubuh selalu dimodifikasi oleh kategori-kategori sosial yang sudah diketahui, yang terdiri dari pandangan tertentu dari masyarakat.
Nancy Scheper-Hughes dan Margaret Lock membedakan tubuh menjadi tiga: tubuh sebagai suatu pengalaman pribadi, tubuh sebagai suatu simbol natural yang melambangkan hubungan dengan alam masyarakat dan kebudayaan, dan tubuh sebagai artefak kontrol sosial dan politik. Bryan S Turner membuat skema permasalahan tubuh yang disebutnya sebagai “geometri tubuh” (The Body and Society (1984). Konsep Ini lebih merupakan pemetaan persoalan tubuh 4 dimensi:
1.      Kesinambungan dalam waktu: masalah utamanya reproduksi.
2.      Kesinambungan dalam ruang: masalah utamanya adalah regulasi dan kontrol populasi, ini yang sering disebut sebagi masalah “politik”.
3.      Kemampuan untuk menahan hasrat: ini adalah persoalan internal tubuh.
4.      Kemampuan merepresentasikan tubuh kepada sesama, ini adalah masalah eksternal tubuh.
Pemikiran Arthur W. Frank sedikit lebih kompleks dalam For a Sociology of the Body: An Analytical Review (1991]). Menurutnya ada 4 masalah yang berkaitan dengan tubuh yaitu: kontrol, hasrat, hubungan dengan sesama, dan hubungan denga diri sendiri, yang pada gilirannya membagi tubuh menjadi 4the disciplined body, the mirroring body, the dominating body, dan communicative body.
Era millennium adalah era di mana tubuh telah mengambil posisi terhormat sebagai lokus kesadaran akan pentingnya pemeliharaan citra tubuh ideal. Tubuh telah diproklamasikan tidak lagi sebagai kuburan bagi jiwa. Bukan sebatas organ fisik, lebih jauh, tubuh merupakan sebuah “identitas”, sebagai “sistem berpikir,” “cara mengada”, dan sebuah kompleksitas nilai dan makna yang padanya aturan dan control sosial berlaku..
Force relationthe body dan the social body atau relasi kuasa atas tubuh terjadi ketika Negara dengan lanskap kapitalisme telah memberi ruang yang sangat besar bagi proyek tubuh dengan segenap konsekuensinya. Di mana-mana, melalui iklan gadis-gadis cantik dan pria tampan, sosialisasi kesehatan, rumah sakit, salon kecantikan, agenda “moralitas” masyarakat postmodern disusun sedemikian rupa melalui representasi tubuh. Tubuh telah mengalami mekanisasi politik melalui perayaan komoditas produk kecantikan/kesehatan dan komodifikasi atas tubuh yang bertujuan menciptakan imperatif moral yang mendikte setiap sikap, prilaku, cara berpikir, dan bagaimana “bekomunikasi” yang baik. Dalam relasi kuasa di dunia kampus, ilmu pengetahuan, tanpa kita sadari memiliki peluang yang sangat kuat mendikte gerak tubuh (gesture) mahasiswa sebagai cara berpikir “logis” yang harus tetap dijaga sebagai bentuk “kesadaran” yang artikulatif mengarahkan kita pada tata cara bergaul, berkomunikasi, bahkan mengkritisi kebijakan-kebijakan yang kita anggap timpang. Sebagai contoh, ilmu komunikasi, khusunya dalam studi public relation (humas) secara tidak langsung menolak citra-citra vokalitas tubuh yang “liar”, “urakan”, sebagai bentuk komunikasi interpersonal yang “efektif.” Pakaian yang rapi, rutinitas absensi mahasiswa, gerak tubuh (tangan, bibir, mata dan sebagainya) dan cara bicara yang lembut penuh intonasi dengan pilihan kata (diksi) yang tepat, merupakan system symbol sosial yang secara politik-akademik lebih bernilai ketimbang kritisisme itu sendiri. Tidak dalam arti menafikan sikap-sikap “baik” semacam itu, lebih jauh, secara tidak sadar kita telah menerima “normalisasi” pengetahuan yang berakibat pada munculnya oposisi pasangan (binary opposition); baik-buruk, lembut-keras

0 komentar:

Posting Komentar