Subscribe:

Labels

Minggu, 25 Desember 2011

Konsumerisme

Konsumtivisme merupakan paham untuk hidup secara konsumtif sehingga orang yang konsumtif dapat dikatakan tidak lagi mempertimbangkan fungsi atau kegunaan ketika membeli barang melainkan mempertimbangkan prestise yang melekat pada barang tersebut. Oleh karena itu, arti kata konsumtif adalah boros atau perilaku boros yang mengonsumsi barang atau jasa secara berlebihan. Dalam artian luas konsumtif adalah perilaku berkonsumsi yang boros dan berlebihan yang lebih mendahulukan keinginan daripada kebutuhan serta tidak ada skala prioritas atau juga dapat diartikan sebagai gaya hidup yang bermewah-mewah.
Sedangkan konsumerisme itu sendiri merupakan gerakan konsumen (consumer movement) yang mempertanyakan kembali dampak-dampak aktivitas pasar bagi konsumen (akhir). Dalam pengertian lebih luas, istilah konsumerisme dapat diartikan sebagai gerakan yang memperjuangkan kedudukan yang seimbang antara konsumen, pelaku usaha dan negara dan gerakan tidak sekadar hanya melingkupi isu kehidupan sehari-hari mengenai produk harga naik atau kualitas buruk, termasuk hak asasi manusia berikut dampaknya bagi konsumer.
Menurut Jane Gaines, istilah mengonsumsi ditemukan dalam kajian budaya dan studi media dalam penciptaan makna. Membeli adalah kunci dari tindak pemaknaan di keas borjuis karena orang akan ikut serta pada suatu derajat (sosial) ketika dia membayar. Namun sampai batas-batas mana kita ingin melihat setiap tindakan mengkonsumsi sebagai tindakan penciptaan makna. Bukti bahwa konsumerisme bukan merupakan aktivitas pasif bodoh yang menunjukkan konformitas sosial, melainkan mencerminkan pergeseran persepsi dikalangan pria-pria muda ketika mereka melawan keinginan maskulinitas konvesional kelas pekerja yang bersikukuh bahwa mereka menolak makna benci atau “sok keren”. Melalui konsumerisme, makna maskulinitas kelas pekerja mengalami transisi suatu negosiasi ulang dan mungkin feminisasi. Namun, makna yang ditemukan dalam konsumerisme yang kadang-kadang dengan mengorbankan analisis hubungan sosial belanja, dapat mengarah pada konsumerisme yang hanya dirayakan.
Makna kata konsumtivisme maupun konsumerisme bukan sesuatu hal yang baru, sebab pada dasarnya -isme yang satu ini ternyata sudah lama ada dan sejak awal telah mengakar kuat di dalam kemanusiaan kita (our humanity). Hal ini bisa kita lihat dari ekspresinya yang paling primitif hingga yang paling mutakhir di jaman modern ini. Tendensi yang ada dalam diri manusia untuk selalu tak pernah puas dengan hal-hal yang telah mereka miliki, ditambah dengan dorongan kuat ambisi pribadi dan semangat kompetisi untuk mencapai sesuatu yang lebih daripada tetangga sebelah membuat pola hidup konsumtivisme semakin subur dan berkembang amat cepat.
Belanja biasanya dipandang sebagai aktivitas pribadi, namun pada saat bersamaan ia pun merupakan aktivitas publik dan pada kasus pasar dan toko pakaian bekas sekaligus berlangsung di jalanan. Belanja cenderung dimasukkan ke dalam kategori kerja domestic dengan konotasi ikutan berupa sesuatu yang membosankan dan melelahkan. Jika tidak, hal ini telah terserap ke dalam konsumerisme dimana perempuan dan para gadis dipandang memainkan peran tertentu. Feminism kontemporer begitu lamban dalam menantang ortodoksi awal tahun 1970-an yang melihat perempuanj sebagai budak bagi konsumerisme. Pandangan Erica Carter bahwa menikmati belanja berarti menjadi seorang feminine pasif dan terjerumus kedalam sistem kebudayaan palsu. Satu alasan adalah bahwa belanja dipandang sebagai aktivitas perempuan. Aktivitas anak-anak muda dan perhatian mereka terarah pada wilayah-wilayah pengalaman yang memiliki citra yang sangat maskulin.
Dalam masyarakat komoditas atau konsumer terdapat suatu proses adopsi cara belajar menuju aktivitas konsumsi dan pengembangan suatu gaya hidup. Pembelajaran ini dilakukan melalui majalah, koran, buku, televisi, dan radio, yang banyak menekankan peningkatan diri, pengembangan diri, transformasi personal, bagaimana mengelola kepemilikan, hubungan dan ambisi, serta bagaimana membangun gaya hidup. Dengan demikian, mereka yang bekerja di media, desain, mode, dan periklanan serta para ‘intelektual informasi’ yang pekerjaannya adalah memberikan pelayanan serta memproduksi, memasarkan dan menyebarkan barang-barang simbolik sebagai ‘perantara budaya baru’. Budaya konsumerisme terutama muncul setelah masa industrialisasi ketika barang-barang mulai diproduksi secara massal sehingga membutuhkan konsumen lebih luas. Media dalam hal ini menempati posisi strategis sekaligus menentukan; yaitu sebagai medium yang menjembatani produsen dengan masyarakat sebagai calon konsumen.
Mengonsumsi sebenarnya merupakan kegiatan yang wajar dilakukan. Namun, dewasa ini disadari bahwa masyarakat tidak hanya mengonsumsi, tapi telah terjebak ke dalam budaya konsumerisme. Budaya ini dikatakan berbahaya karena berekses negatif terhadap lingkungan hidup, juga meluruhnya hubungan sosial dan bertahtanya kesadaran palsu di benak masyarakat. Berbagai program, dari mulai sinetron, kuis, sandiwara komedi, sampai musik, disediakan sebagai persembahan spesial untuk menyambut hari spesial. Semakin cantik acara yang disajikan akan semakin mengundang banyak penonton. Selanjutnya, rating-pun tinggi sehingga merangsang kalangan produsen untuk memasang iklan. Iklan merupakan proses persuasi yang sangat efektif dalam memengaruhi keputusan masyarakat dalam mengonsumsi.
Kebudayaan konsumer yang dikendalikan sepenuhnya oleh hukum komoditi, yang menjadikan konsumer sebagai raja yang menghormati setinggi-tingginya nilai-nilai individu, yang memenuhi selengkap dan sebaik mungkin kebutuhan-kebutuhan, aspirasi, keinginan dan nafsu, telah memberi peluang bagi setiap orang untuk asyik dengan sendirinya. Masyarakat yang hidup dalam budaya konsumer. Budaya konsumerisme/konsumtivisme merupakan jantung dari kapitalisme, adalah sebuah budaya yang di dalamnya berbagai bentuk dusta, halusinasi, mimpi, kesemuan, artifisialitas, pendangkalan, kemasan wujud komoditi, melalui strategi hipersemiotika dan imagologi, yang kemudian dikonstruksi secara sosial melalui komunikasi ekonomi (iklan, show, media) sebagai kekuatan tanda  kapitalisme.
Dampak konsumerisme dan penjenuhan media sebagai aspek utama perkembangan masyarakat kapitalis. Sekarang berbagai kebutuhan ekonomi kapitalisme telah bergeser dari produksi menjadi konsumsi. Konsumsi merupakan perkembangan yang cukup mutakhir dalam sejarah kapitalisme yang perlu dipecahkan. Dalam sebuah masyarakat kapitalis maju, kebutuhan orang untuk mengonsumsi telah menjadi sama petingnya dibandingkan dengan kebutuhan orang untuk memproduksi. Pertumbuhan kredit konsumen, ekspansi agen-agen (iklan, pemasaran, desain) mendorong orang-orang untuk mengonsumsi, dan lahirnya budaya populer modern yang menuja konsumerisme, hedonisme, dan gaya.
Bangkitnya bentuk-bentuk komunikasi massa modern maupun pengembangbiakan budaya media populer telah menjadikan media massa sebagai keutamaan bagi arus komunikasi dan informasi di dalam maupun diantara masyarakat-masyarakat modern. Akibatnya, budaya populer yang mereka siarkan dan promosikan semakin banyak menerangkan dan memperantarai kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat. Semakin pentingnya konsumsi dan media di dalam masyarakat modern telah menimbulkan pekerjaan-pekerjaan baru yang ada kaitannya dengan perlunya mendorong orang untuk melakukan konsumsi lebuh sering, semakin banyak, dan beragam komoditas. Hal ini juga mengakibatkan pengikisan identitas, pengikisan identitas yang dulunya aman telah mengarah pada semakin menignkatnya fragmentasi identitas personal. Konsumerisme tidak menghasilkan sumber-sumber identitas dan keyakinan yang terkikis, tapi karena tidak ada alternatif yang bergantung, budaya populer dan media massa mulai berfungsi sebagai satu-satunya kerangka rujukan sebagai konstruksi identitas kolektif maupun personal.

0 komentar:

Posting Komentar