Subscribe:

Labels

Rabu, 23 Maret 2011

Konflik Sosial Dalam Organisasi

A.    PENGERTIAN KONFLIK SOSIAL
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.Konflik adalah sesuatu yang wajar terjadi di masyarakat, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan dengan integrasi.Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.

B.     SUMBER KONFLIK SOSIAL DALAM ORGANISASI
Konflik yang terjadi pada organisasi bersumber pada berbagai macam sebab. Begitu beragamnya sumber konflik yang terjadi dalam suatu organisasi, sehingga sulit itu untuk dideskripsikan secara jelas dan terperinci sumber dari konflik. Hal ini dikarenakan sesuatu yang seharusnya bisa menjadi sumber konflik, tetapi pada kelompok manusia tertentu ternyata tidak menjadi sumber konflik, demikian halnya sebaliknya. Kadang sesuatu yang sifatnya sepele bisa menjadi sumber konflik antara manusia. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi dalam organisasi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam suatu organisasi dan tidak satu organisasi pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan organisasi  lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya organisasi itu sendiri. Kesimpulannya sumber konflik itu sangat beragam dan kadang sifatnya tidak rasional. Oleh karena kita tidak bisa menetapkan secara tegas bahwa yang menjadi sumber konflik adalah sesuatu hal tertentu, apalagi hanya didasarkan pada hal-hal yang sifatnya rasional. Pada umumnya penyebab munculnya konflik kepentingan dalam organisasi sebagai berikut:
a.       Perbedaan kebutuhan, nilai, dan tujuan,
b.      Langkanya sumber daya seperti kekuatan, pengaruh, ruang, waktu, uang, popularitas dan posisi, dan
c.       Persaingan. Ketika kebutuhan, nilai dan tujuan saling bertentangan, ketika sejumlah sumber daya menjadi terbatas, dan ketika persaingan untuk suatu penghargaan serta hak-hak istimewa muncul, konflik kepentingan akan muncul.
Menurut Anoraga ,suatu konflik dapat terjadi karena perbedaan pendapat, salah paham, ada pihak yang dirugikan, dan perasaan sensitif.
a.       Perbedaan pendapat antar anggota organisasi.
Suatu konflik yang terjadi karena pebedaan pendapat dimana masing-masing pihak merasa dirinya benar, tidak ada yang mau mengakui kesalahan, dan apabila perbedaan pendapat tersebut amat tajam maka dapat menimbulkan rasa kurang enak, ketegangan dan sebagainya.
b.      Salah paham
Salah paham merupakan salah satu hal yang dapat menimbulkan konflik. Misalnya tindakan dari seseorang yang tujuan sebenarnya baik tetapi diterima sebaliknya oleh individu yang lain.
c.       Ada pihak yang dirugikan
Tindakan salah satu pihak mungkin dianggap merugikan yang lain atau masing-masing pihak merasa dirugikan pihak lain sehingga seseorang yang dirugikan merasa kurang enak, kurang senang atau bahkan membenci.
d.      Perasaan sensitif
Seseorang yang terlalu perasa sehingga sering menyalah artikan tindakan orang lain. Contoh, mungkin tindakan seseorang wajar, tetapi oleh pihak lain dianggap merugikan.Baron & Byrne mengemukakan konflik disebabkan antara lain oleh perebutan sumber daya, pembalasan dendam, atribusi dan kesalahan dalam berkomunikasi.
.


C.    FAKTOR PENYEBAB KONFLIK SOSIAL
a.       Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
b.      Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
c.       Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
d.      Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.

D.    FENOMENA DAN DAMPAK KONFLIK
Realita konflik dalam organisasi adalah munculnya kerusuhan, saling hasut-menghasut, caci-maki, menyiksa, mencederai, membunuh secara sadis atau penuh pertentangan bathin, membakar, merampas hak milik orang lain, mengusir, penghilangan dokumen-dokumen penting, membakar, dll.
Konflik yang berkepanjangan selalu menyisakan ironi dan tragedi. Kekerasan yang terjadi dalam rentang waktu lama menjadikannya sebagai perilaku yang seolah wajar dan bahkan terinstitusionalisasi. Akibatnya lingkaran setan kekerasan menjadi mata rantai yang semakin sulit untuk diputuskan. Karena perasaan masing-masing pihak adalah korban memicu dendam yang jika ada kesempatan akan dibalaskan melalui jalan kekerasan pula. Belum lagi kerusakan dan kerugian materiil yang harus di tanggung, sungguh tak terperikan lagi.Konflik dapat mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dalam jumlah besar, kehilangan pekerjaan, atau konflik telah membuat mereka yang tadinya akur dan rukun terpaksa harus saling berkelahi karena perbedaan identitas,dan sebagian menyatakan bahwa perkelahian dan konflik tersebut mengakibatkan putusnya hubungan kekeluargaan diantara mereka yang secara kebetulan berbeda identitas etnis atau agama.
Dampak terbesar dari konflik yang membutuhkan perhatian dan penanganan serius, justru adalah pada aspek psiko-sosial anggota organisasi. Akibatnya, diantara anggota-anggota organisasi timbul rasa saling curiga dan mengikis rasa kepercayaan diantara warga masyarakat.
Dampak konflik lainnya adalah mengundang turun tangan keluarga dan sanak saudara dari anggota organisasi. Di sudut agama terpanggil rasa solidaritas se-agama dari berbagai organisasi sosial keagamaan dari berbagai penjuru tanah air hingga dari luar negeri. Kondisi ini dimanfaatkan pula oleh para pencuri, menyaru sebagai penyelamat-pemihak ternyata mejarah milik semua pihak.
Pasca konflik, ekses masih berlanjut, perumahan, lembaga pendidikan, perkantoran, sarana ibadah musnah setidaknya hancur, kehilangan harta benda, mata pencaharian dan sanak saudara, orang cacat, putus sekolah, penderita keabnormalan jiwa, saling curiga, hari depan yang suram, pihak keamanan dan birokrasi kehilangan kharisma, dll.
Trauma komunal seperti ini akan menimbulkan luka yang mendalam dan menyakitkan. Trauma komunal ini juga akan melahirkan ’pahlawan’ dan ’martir’ dari kedua belah pihak yang bertikai, berikut kenangan akan pengorbanannya yang digunakan untuk memperdalam perpecahan yang nyata diantara kelompok identitas yang berkonflik.

E.     CARA PENANGANAN KONFLIK
Konflik yang terjadi di dalam suatu tubuh organisasi, menampilkan interaksi yang rumit antara kekuatan-kekuatan yang berbeda. Namun demikian semua kasus di tiap organisasi mewakili jenis konflik yang mengakar dan berkepanjangan. Karenanya, kesemuanya membutuhkan pendekatan yang berbeda-beda dan institusi yang berbeda pula untuk mengelola pertikaian dan membangun perdamaian yang berkelanjutan. Lebih jauh, masing-masing membutuhkan penciptaan struktur yang terancang baik yang sengaja ditujukan untuk kebutuhan yang spesifik. Karena itu sesungguhnya, tidak ada ”resep manjur” yang dapat diterapkan untuk mengatasi segala jenis konflik.
Di sinilah justru kelemahan dari upaya penanganan yang selama ini sudah dilakukan pemerintah. Dimana pola penanganan konflik di tiap wilayah cenderung ”diseragamkan”. Hal tersebut terlihat dari respon anggota organisasi yang menyatakan bahwa upaya yang dilakukan pemerintah selain memberikan bantuan fisik materiil, seperti sembako, atau tempat penampungan hanya berkisar pada fasilitasi dialog penjagaan oleh aparat keamanan dan sosialisasi perdamaian.
Upaya-upaya yang lebih menyentuh persoalan yang mendasar dan substansi sebagaimana dikemukakan dalam point cara penanganan konflik, seperti penguatan basis sosial dan ekonomi masyarakat, pengaturan penguasaan sumber daya ekonomi secara lebih adil dan seterusnya belum banyak dilakukan. Akibatnya, pemerintah seringkali terjebak dalam paradigma menyelesaikan konflik dan bukannya mengelola konflik.
Dalam konteks teori-teori penanganan konflik yang dikemukakan Bloomfield, Ben Rielly, Charles Nupen, Pieter Haris yang telah dikutipkan terdahulu, maka respon masyarakat di lima wilayah konflik terhadap cara penyeleaian konflik yang mereka alami sungguh relevan dengan paradigma penanganan konflik mutakhir itu. Penyelesaian konflik dilakukan sendiri oleh anggota organisasi dan para pengurus organisasi dengan melibatkan para tokoh agama, adat, etnis dan berbagai pemuka dan komponen masyarakat yang kompeten arau penyelesaian konflik dilakukan di dalamorganisasi saja, dengan difasilitasi oleh para pemuka agama atau konflik diselesaikan dengan jalan hukum.
Untuk mempercepat proses penanganan konflik tersebut, maka anggota organisasi yang terlibat konflik mengusulkan agar masing-masing pihak bisa lebih mengembangkan sikap saling menghargai,selain itu juga harus dikembangkan sikap tenggang rasa, bersedia untuk berbaur dan tidak mengelompok secara eksklusif serta mau bergotong.






DAFTAR PUSTAKA

0 komentar:

Posting Komentar