LEMBAGA SOSIAL
1.Pengertian Lembaga Sosial
Pengertian lembaga sosial menurut pandangan sosiologi adalah bentuk-bentuk tingkah laku yang teratur,terorganisir secara sistematis.Pengertian lembaga sosial menurut pandangan antropologi adalah sekumpulan norma-norma dan aturan.
2.Pendapat para tokoh tentang Definisi Lembaga social :
a) Menurut Koentjaraningkrat : Lembaga sosial adalah suatu system tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada akatifitas social untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat.
b) Menurut Leopold Von Weise dan Becker : Lembaga sosial adalah jaringan proses hubungan antar manusia dan antar kelompok yang berfungsi memelihara hubungan itu beserta pola-polanya yang sesuai dengan minat kepentingan individu dan kelompoknya.
c) Menurut R.M Iver dan C.H Bruner : Lembaga sosial sebagai tatacara atau prosedur untuk mengatur hubungan antar manusia yang berkelompok bermasyarakat yang dinamakan asosiation.
d) Menurut Sumner : Lembaga sosial sebagai perbuatan,cita-cita,sikap den perlengkapan kebudayaan yang bersifat kekal serta aturanya sesuai dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
e) Menurut Bruce Coke : Lembaga sosial sebagai pola tingkah laku yang terorganisir serta mapan dan ditentukan oleh kelompok yang mempunyai sanksi untuk mencapai kebutuhan yang diinginkan.
f) Menurut Bouman : Lembaga sosial atau sosial gebilde merupakan bentuk dari susuna peraturan.
3.Munculnya lembaga sosial :
a) Adanya kebutuhan.
b) Individu membentuk suatu sistem organisme.
c) Bertingkah laku.
d) Menemukan suatu sistem yang dianggap tepat.
e) Muncul lembaga sosial.
4.Kebutuhan dasar
a) Ekonomi.
b) Pengetahuan.
c) Tertib dan aturan.
d) Biologis/keturunan.
e) Rohani.
5.Proses pelembagaan Lembaga sosial
a) Institunalization adalah proses pelembagaan melalui “trial and error”.Mencoba sampai dengan diketemukan tingkah laku yang dapat diterima dan dipakai dalam kehidupan masyarakat atau dengan kata lain menjadi nilai atau norma.
b) Internalization adalah proses masuk ke dalam atau pendalaman dalam kehidupan.Terus dilaksanakan oleh suatu masyarakat sampai dengan mendarah daging atau tertanam dalam diri individu.
c) Re Institunalization adalah proses penurunan fungsi dari norma atau tingkah laku.Norma dan tingkah laku sudah tidak dianggap cocok lagi dengan pola kehidupan masyarakat.
d) De Institunalisasi adalah proses dimana munculnya bentuk tingkah laku baru yang dianggap cocok dengan pola kehidupan masyarakat.
6.Fungsi umum Lembaga sosial
a) Mengarahkan pola tingkah laku dalam masyarakat atau sebagai pedoman tingkah laku.
b) Fungsi pengendalian sosial.
c) Fungsi integrasi yaitu menjadi tonggak menjaga keutuhan masyarakat.
d) Fungsi kontrol.
6.Macam-macam Lembaga sosial
a) Ekonomi.
Fungsi Lembaga Ekonomi :
· memberi pedoman untuk mendapatkan bahan pangan
· memberikan pedoman untuk melakukan pertukaran barang/barter.
· memberi pedomantentang harga jual beli barang
· memberi pedoman untuk menggunakan tenaga kerja.
· memberikan pedoman tentang cara pengupahan.
· memberikan pedomantentang cara pemutusan hubungan kerja
· memberi identitas bagi masyarakat.
b) Pendidikan.
Fungsi Manifest Lembaga Pendidikan :
1) Membantu orang untuk mencari nafkah.
2) Menolong mengembangkan potensinya demi pemenuhan kebutuhan hidupnya.
3) Melestarikan kebudayaan dengan caramengajarkannya dari generasi kegenerasi berikutnya.
4) Merangsang partisipasi demokrasi melalui pengajaran ketrampilan berbicara dan mengembangkan cara berpikir rasional
5) Memperkaya kehidupan dengan cara menciptakan kemungkainan untuk berkembangnya cakrawala intelektual dan cinta rasa keindahan.
6) Meningkatkan kemampuan menyesuaikan diri melalui bimbingan pribadi dan berbagai kursus
7) Meningkatkan taraf kesehatan para pemuda bangsa melalui latihan dan olahraga.
8) Menciptakan warga Negara yang patreotik melalui pelajaran yang menggambarkan kejayaan bangsa.
9) Membentuk kepribadian yaitu susunan unsur dan jiwa yang menentukan perbedaan tingkah laku atau tindakan dari tiap-tiap individu.
Fungsi Laten Lembaga Pendidikan :
1) Fungsi ini berkaitan dengan fungsi lembaga pendidikan secara tersembunyi yaitu menciptakan atau melahirkan kedewasaan peserta didik.
c) Pemerintahan.
d) Agama.
e) Keluarga.
Terbentuknya Lembaga Keluarga :
1) Diawali dengan adnya interaksi antara pria dan wanita.
2) Interaksi dilakukan berulang-ulang, lalu menjadi hubungan social yang lebih intim sehingga terjadi proses perkawinan.
3) Setelah terjadi perkawinan, terbentuklah keturunan , kemudian terbentuklah keluarga inti.
Fungsi Lembaga Keluarga :
1) Fungsi Reproduksi artinya dalam keluarga anak-anak merupakan wujud dari cinta kasih dan tanggung jawab suami istri meneruskan keturunannya.
2) Fungsi sosialisasi artinya bahwa keluarga berperan dalam membentuk kepribadian anak agar sesuai dengan harapan orang tua dan masyarakatnya. Keluarga sebagai wahana sosialisasi primer harus mampu menerapakan nilai dan norma masyarakat melalui keteladanan orang tua.
3) Fungsi afeksi artinya didalam keluarga diperlukan kehangatan rasa kasih saying dan perhatian antar anggota keluarga yang merupakan salah satu kebutuhan manusia sebagai makluk berpikir dan bermoral (kebutuhan integratif) apabila anak kurang atau tidak mendapatkannya , kemungkinan ia sulit untuk dikendalikan nakal, bahkan dapat terjerumus dalam kejahatan.
4) Fungsi ekonomi artinya bahwa keluarga terutama orang tua mempunyai kewajiban ekonomi seluaruh keluarganya . Ibu sebagai sekretaris suami didalam keluarga harus mampu mengolah keuangan sehingga kebutuahan dalam rumah tangganya dapat dicukupi.
5) Fungsi pengawasan social artinya bahwa setiap anggota keluarga pada dasarnya saling melakukan control atau pengawasan karena mereka memiliki rasa tanggung jawab dalam menjaga nama baik keluarga .
6) Fungsi proteksi (perlindungan) artinya fungsi perlindungan sangat diperlukan keluarga terutma anak , sehigngga anak akan merasa aman hidup ditengah-tengah keluarganya. Ia akan merasa terlindungi dari berbagai ancaman fisik mapun mental yang dating dari dalam keluarga maupun dari luar keluarganya.
7) Fungsi pemberian status artinya bahwa melalui perkawinan seseorang akan mendapatkan status atau kedudukan yang baru di masyarakat yaitu suami atau istri. Secara otomatis mereka akan diperlakukan sebagai orang yang telah dewasa dan mampu bertanggung jawab kepada diri, keluarga, anak-anak dan masyarakatnya.
PENGENDALIAN SOSIAL
I. Pengertian Pengendalian Sosial.
Pengendalian sosial adalah merupakan suatu mekanisme untuk mencegah penyimpangan sosial serta mengajak dan mengarahkan masyarakat untuk berperilaku dan bersikap sesuai norma dan nilai yang berlaku. Dengan adanya pengendalian sosial yang baik diharapkan mampu meluruskan anggota masyarakat yang berperilaku menyimpang.Berikut ini beberapa definisi tentang pengendalian sosial.Menurut Berger (1978) Pengendalian Sosial adalah berbagai cara yangdigunakan masyarakat untuk menertibkan anggotanya yang membangkang.Roucek (1965) mengemukakan bahwa Pengendalian Sosial adalah suatu istilah kolektif yang mengacu pada proses terencana dimana individu dianjurkan, dibujuk,ataupun dipaksa untuk menyesuaikan diri pada kebiasaan dan nilai hidup suatu kelompok.Secara umum dapat disimpulkan bahwa upaya untuk mewujudkan kondisiseimbang didalam masyarakat disebut pengendalian sosial (Social Control).
II.Cakupan Pengendalian Sosial.
1. Pengawasan antar individu.
Contoh:
Contoh:
a) Amir menyuruh adiknya agar berhenti berteriak-teriak.
b) Tono mengawasi adiknya agar tidak berkelahi.
c) Polisi memerintahkan memakai helm pada seorang pengendara sepeda motor.
2. Pengawasan individu dengan kelompok.
Contoh:
Contoh:
a) Guru mengawasi ujian di kelas.
b) Polisi mengatur lalu lintas.
c) Bapak memerintah anakanaknya untuk segera belajar daripada ribut terus.
3. Pengawasan kelompok dengan individu.
Contoh:
Contoh:
a) Bapak dan Ibu Pranoto selalu mengontrol perilaku anak tunggalnya.
b) Sekelompok orang menyuruh turun pada seorang anak yang memanjat tiang listrik.
c) Kawanan massa menghajar seorang pencopet.
4. Pengawasan antar kelompok.
Contoh:
Contoh:
a) Dua perusahaan yang melakukan joint venture (patungan) selalu melakukan saling pengawasan.
b) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memeriksa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).
c) Dua atau lebih negara berkembang bergabung dalam pengawasan peredaran obatobatan terlarang.
III. Sifat Pengendalian Sosial.
1. Preventif yaitu pengendalian sosial yang dilakukan sebelum terjadi
pelanggaran, artinya mementingkan pada pencegahan agar tidak terjadi
pelanggaran.
Contoh:
pelanggaran, artinya mementingkan pada pencegahan agar tidak terjadi
pelanggaran.
Contoh:
a) Untuk mencegah anaknya berkelahi Ibu Amir menyuruh anak anaknya
tidak bermain di luar rumah.
tidak bermain di luar rumah.
b) Tidak bosan bosannya guru menasehati muridmuridnya untuk segera pulang dan tidak nongkrongnongkrong dulu di jalanan; untuk menghindari terjadinya tawuran pelajar, merokok atau terlibat narkoba.
2. Represif: adalah pengendalian sosial yang dilakukan setelah orang melakukan suatu tindakan penyimpangan (deviasi). Pengendalian sosial ini bertujuan untuk memulihkan keadaan seperti sebelum terjadinya tindakan penyimpangan.
Contoh:
Contoh:
a) Hakim menjatuhkan hukuman kepada terpidana.
b) Pak Rudi di PHK karena korupsi.
Dari contoh tersebut, terpidana dan Pak Rudi mendapat hukuman dan
PHK setelah melakukan tindakan penyimpangan.
Dari contoh tersebut, terpidana dan Pak Rudi mendapat hukuman dan
PHK setelah melakukan tindakan penyimpangan.
IV. Tujuan Pengendalian Sosial.
Tujuan pengendalian sosial adalah terciptanya suatu keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat. Sebelum terjadi perubahan, dalam masyarakat sudah terkondisi suatu keadaan yang stabil,selaras, seimbang dan sebagainya. Dengan adanya perubahan,menyebabkan terjadi keadaan yang tidak stabil.Tujuan pengendalian sosial untuk memulihkan keadaan yang serasi seperti sebelum terjadinya perubahan.
Teknik Pengendalian sosial
1. Cara Persuasif
Cara persuasif lebih menekankan pada usaha untuk mengajak atau membimbing anggota masyarakat agar dapat bertindak sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku dimasyarakat.Terkesan halus dan menghimbau.Aspek kognitif (pengetahuan) dan afektif (sikap) sangat ditekankan. Contoh:
a) Para tokoh masyarakat membina warganya dengan memberi nasehat
kepada warga yang bertikai agar selalu hidup rukun, menghargai sesama,
mentaati peraturan, menjaga etika pergaulan, dan sebagainya.
kepada warga yang bertikai agar selalu hidup rukun, menghargai sesama,
mentaati peraturan, menjaga etika pergaulan, dan sebagainya.
b) Seorang ibu dengan penuh kasih sayang menasehati anaknya yang
ketahuan mencuri. Ibu itu berusaha memberi pengertian pada anaknya
bahwa mencuri itu perbuatan yang tercela dosa dan sangat merugikan
orang lain. Mencuri itu akan berakibat buruk pada kehidupannya kelak. Ia
akan menjadi orang terkucil dan tersingkir dari masyarakat.
ketahuan mencuri. Ibu itu berusaha memberi pengertian pada anaknya
bahwa mencuri itu perbuatan yang tercela dosa dan sangat merugikan
orang lain. Mencuri itu akan berakibat buruk pada kehidupannya kelak. Ia
akan menjadi orang terkucil dan tersingkir dari masyarakat.
c) Seorang guru membimbing dan membina muridnya yang ketahuan
merokok di sekolah. Guru tersebut dengan penuh kewibawaan dan
kesabaran menanamkan pengertian bahwa merokok itu merusak
kesehatan dan juga merugikan orang lain, selain itu juga merupakan
pemborosan.
merokok di sekolah. Guru tersebut dengan penuh kewibawaan dan
kesabaran menanamkan pengertian bahwa merokok itu merusak
kesehatan dan juga merugikan orang lain, selain itu juga merupakan
pemborosan.
2. Cara Koersif
Cara koersif lebih menekankan pada tindakan atau ancaman yang
menggunakan kekerasan fisik. Tujuan tindakan ini agar si pelaku jera dan
tidak melakukan perbuatan buruknya lagi. Jadi terkesan kasar dan keras.
Cara ini hendaknya merupakan upaya terakhir sesudah melakukan cara
persuasif, contoh:
menggunakan kekerasan fisik. Tujuan tindakan ini agar si pelaku jera dan
tidak melakukan perbuatan buruknya lagi. Jadi terkesan kasar dan keras.
Cara ini hendaknya merupakan upaya terakhir sesudah melakukan cara
persuasif, contoh:
a) Agar para perampas sepeda motor jera akan perbuatannya, maka ketika
tertangkap masyarakat langsung mengeroyoknya. Tindakan tersebut
sebenarnya dilarang secara hukum, karena telah main hakim sendiri.
Namun cara tersebut dilakukan masyarakat dengan maksud agar para
perampas sepeda motor lainnya takut untuk berbuat serupa.
tertangkap masyarakat langsung mengeroyoknya. Tindakan tersebut
sebenarnya dilarang secara hukum, karena telah main hakim sendiri.
Namun cara tersebut dilakukan masyarakat dengan maksud agar para
perampas sepeda motor lainnya takut untuk berbuat serupa.
b) Peraturan hukum dari negara tertentu yang memberlakukan hukuman
cambuk, rajam, bahkan hukuman mati bagi pelaku kejahatan, agar para
pelaku kejahatan atau orang yang akan berniat jahat jera dan takut
melakukan tindak kejahatan.
cambuk, rajam, bahkan hukuman mati bagi pelaku kejahatan, agar para
pelaku kejahatan atau orang yang akan berniat jahat jera dan takut
melakukan tindak kejahatan.
3. Cara Pengendalian Sosial Melalui Sosialisasi
Cara pengendalian sosial melalui sosialisasi dikemukakan oleh Froman pada
tahun 1944 sebagai berikut:
“Jika suatu masyarakat ingin berfungsi secara efisien, maka mereka harus
melakukan perannya sebagai anggota masyarakat”.
Melalui sosialisasi mereka dapat menjalankan peran sesuai dengan yang
diharapkan masyarakat. Misalnya, sejak kecil seseorang dididik melakukan
tahun 1944 sebagai berikut:
“Jika suatu masyarakat ingin berfungsi secara efisien, maka mereka harus
melakukan perannya sebagai anggota masyarakat”.
Melalui sosialisasi mereka dapat menjalankan peran sesuai dengan yang
diharapkan masyarakat. Misalnya, sejak kecil seseorang dididik melakukan
V.Fungsi Pengendalian Sosial.
Koentjaraningrat menyebut sekurang-kurangnya lima macam fungsi pengendalian sosial, yaitu :
Koentjaraningrat menyebut sekurang-kurangnya lima macam fungsi pengendalian sosial, yaitu :
1. Mempertebal keyakinan masyarakat tentang kebaikan norma.
2. Memberikan imbalan kepada warga yang menaati norma.
3. Mengembangkan rasa malu.
4. Mengembangkan rasa takut.
5. Menciptakan sistem hukum.
Ada lima faktor yang ikut menentukan sampai seberapa jauhkah sesungguhnya sesuatu usaha kontrol sosial oleh kelompok masyarakat itu bisa dilaksanakan secara efektif, yaitu :
1. Menarik tidaknya Kelompok Masyarakat Itu Bagi Warga yang Bersangkutan.
Pada umumnya, kian menarik sesuatu kelompok bagi warganya, kian besarlah efektivitas kontrol sosial atas warga tersebut, sehingga tingkah pekerti-tingkah pekerti warga itu mudah dikontrol conform dengan keharusan-keharusan norma yang berlaku. Pada kelompok yang disukai oleh warganya, kuatlah kecendrungan pada pihak warga-warga itu untuk berusaha sebaik-baiknya agar tidak melanggar norma kelompok. Norma-norma pun menjadi self-enforcing. Apabila terjadi pelanggaran, dengan mudah si pelanggar itu dikontrol dan dikembalikan taat mengikuti keharusan norma. Sebaliknya, apabila kelompok itu tidak menarik bagi warganya, maka berkuranglah motif pada pihak warga kelompok untuk selalu berusaha menaati norma-norma sehingga karenanya-bagaimanapun juga keras dan tegasnya kontrol sosial dilaksanakan-tetaplah juga banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
Pada umumnya, kian menarik sesuatu kelompok bagi warganya, kian besarlah efektivitas kontrol sosial atas warga tersebut, sehingga tingkah pekerti-tingkah pekerti warga itu mudah dikontrol conform dengan keharusan-keharusan norma yang berlaku. Pada kelompok yang disukai oleh warganya, kuatlah kecendrungan pada pihak warga-warga itu untuk berusaha sebaik-baiknya agar tidak melanggar norma kelompok. Norma-norma pun menjadi self-enforcing. Apabila terjadi pelanggaran, dengan mudah si pelanggar itu dikontrol dan dikembalikan taat mengikuti keharusan norma. Sebaliknya, apabila kelompok itu tidak menarik bagi warganya, maka berkuranglah motif pada pihak warga kelompok untuk selalu berusaha menaati norma-norma sehingga karenanya-bagaimanapun juga keras dan tegasnya kontrol sosial dilaksanakan-tetaplah juga banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
2. Otonom Tidaknya Kelompok Masyarakat Itu.
Makin otonom suatu kelompok, makin efektiflah kontrol sosialnya, dan akan semakin sedikitlah jumlah penyimpangan-penyimpangan dan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di atas norma-norma kelompok. Dalil tersebut diperoleh dari hasil studi Marsh.
Penyelidikan Marsh ini dapat dipakai sebagai landasan teoritis untuk menjelaskan mengapa kontrol sosial efektif sekali berlaku di dalam masyarakat-masyarakat yang kecil-kecil dan terpencil; dan sebaliknya mengapa di dalam masyarakt kota besar-yang terdiri dari banyak kelompok-kelompok sosial besar maupun kecil itu – kontrol sosial bagaimanapun juga kerasnya dilaksanakan tetap saja kurang efektif menghadapi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
Makin otonom suatu kelompok, makin efektiflah kontrol sosialnya, dan akan semakin sedikitlah jumlah penyimpangan-penyimpangan dan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di atas norma-norma kelompok. Dalil tersebut diperoleh dari hasil studi Marsh.
Penyelidikan Marsh ini dapat dipakai sebagai landasan teoritis untuk menjelaskan mengapa kontrol sosial efektif sekali berlaku di dalam masyarakat-masyarakat yang kecil-kecil dan terpencil; dan sebaliknya mengapa di dalam masyarakt kota besar-yang terdiri dari banyak kelompok-kelompok sosial besar maupun kecil itu – kontrol sosial bagaimanapun juga kerasnya dilaksanakan tetap saja kurang efektif menghadapi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
3. Beragam-Tidaknya Norma-norma yang Berlaku di dalam Kelompok Itu
Makin beragam macam norma-norma yang berlaku dalam suatu kelompok-lebih-lebih apabila antara norma-norma itu tidak ada kesesuaian, atau apabila malahan bertentangan-maka semakin berkuranglah efektivitas kontrol sosial yang berfungsi menegakkannya. Dalil ini pernah dibuktikan di dalam sebuah studi eksperimental yang dilakukan oleh Meyers.
Dihadapkan pada sekian banyak norma-norma yang saling berlainan dan saling berlawanan, maka individu-individu warga masyarakat lalu silit menyimpulkan adanya sesuatu gambaran sistem yang tertib, konsisten, dan konsekuen. Pelanggaran atas norma yang satu (demi kepentingan pribadi) sering kali malahan terpuji sebagai konformitas yang konsekuen pada norma yang lainnya. Maka, dalam keadaan demikian itu, jelas bahwa masyarakat tidak akan mungkin mengharapkan dapat terselenggaranya kontrol sosial secara efektif.
Makin beragam macam norma-norma yang berlaku dalam suatu kelompok-lebih-lebih apabila antara norma-norma itu tidak ada kesesuaian, atau apabila malahan bertentangan-maka semakin berkuranglah efektivitas kontrol sosial yang berfungsi menegakkannya. Dalil ini pernah dibuktikan di dalam sebuah studi eksperimental yang dilakukan oleh Meyers.
Dihadapkan pada sekian banyak norma-norma yang saling berlainan dan saling berlawanan, maka individu-individu warga masyarakat lalu silit menyimpulkan adanya sesuatu gambaran sistem yang tertib, konsisten, dan konsekuen. Pelanggaran atas norma yang satu (demi kepentingan pribadi) sering kali malahan terpuji sebagai konformitas yang konsekuen pada norma yang lainnya. Maka, dalam keadaan demikian itu, jelas bahwa masyarakat tidak akan mungkin mengharapkan dapat terselenggaranya kontrol sosial secara efektif.
4. Besar-Kecilnya dan Bersifat Anomie-Tidaknya Kelompok Masyarakat yang Bersangkutan
Semakin besar suatu kelompok masyarakat, semakin sukarlah orang saling mengidentifikasi dan saling mengenali sesama warga kelompok. Sehingga, dengan bersembunyi di balik keadaan anomie (keadaan tak bisa saling mengenal), samakin bebaslah individu-individu untuk berbuat “semaunya”, dan kontrol sosialpun akan lumpuh tanpa daya.Hal demikian itu dapat dibandingkan dengan apa yang terjadi pada masyarakat-masyarakat primitif yang kecil-kecil, di mana segala interaksi sosial lebih bersifat langsung dan face-to-face. Tanpa bisa bersembunyi di balik sesuatu anomie, dan tanpa bisa sedikit pun memanipulasi situasi heterogenitas norma, maka warga masayarakat di dalam masyarakat-masyarakat yang kecil-primitif itu hampir-hampir tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari kontrol sosial. Itulah sebabnya maka kontrol sosial di masyarakat primitif itu selalu terasa amat kuatnya, sampai-sampai suatu kontrol sosial yang informal sifatnya-seperti ejekan dan sindiran-itu pun sudah cukup kuat untuk menekan individu-individu agar tetap memerhatikan apa yang telah terlazim dan diharuskan.
Semakin besar suatu kelompok masyarakat, semakin sukarlah orang saling mengidentifikasi dan saling mengenali sesama warga kelompok. Sehingga, dengan bersembunyi di balik keadaan anomie (keadaan tak bisa saling mengenal), samakin bebaslah individu-individu untuk berbuat “semaunya”, dan kontrol sosialpun akan lumpuh tanpa daya.Hal demikian itu dapat dibandingkan dengan apa yang terjadi pada masyarakat-masyarakat primitif yang kecil-kecil, di mana segala interaksi sosial lebih bersifat langsung dan face-to-face. Tanpa bisa bersembunyi di balik sesuatu anomie, dan tanpa bisa sedikit pun memanipulasi situasi heterogenitas norma, maka warga masayarakat di dalam masyarakat-masyarakat yang kecil-primitif itu hampir-hampir tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari kontrol sosial. Itulah sebabnya maka kontrol sosial di masyarakat primitif itu selalu terasa amat kuatnya, sampai-sampai suatu kontrol sosial yang informal sifatnya-seperti ejekan dan sindiran-itu pun sudah cukup kuat untuk menekan individu-individu agar tetap memerhatikan apa yang telah terlazim dan diharuskan.
5. Toleran-Tidaknya Sikap Petugas Kontrol Sosial Terhadap Pelanggaran yang Terjadi
Sering kali kontrol sosial tidak dapat terlaksana secara penuh dan konsekuen, bukan kondisi-kondisi objektif yang tidak memungkinkan, melainkan karena sikap toleran (menenggang) agen-agen kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Mengambil sikap toleran, pelaksana kontrol sosial itu sering membiarkan begitu saja sementara pelanggar norma lepas dari sanksiyang seharusnya dijatuhkan.
Adapun toleransi pelaksana-pelaksana kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi umumnya tergantung pada faktor-faktor sebagai berikut
Sering kali kontrol sosial tidak dapat terlaksana secara penuh dan konsekuen, bukan kondisi-kondisi objektif yang tidak memungkinkan, melainkan karena sikap toleran (menenggang) agen-agen kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Mengambil sikap toleran, pelaksana kontrol sosial itu sering membiarkan begitu saja sementara pelanggar norma lepas dari sanksiyang seharusnya dijatuhkan.
Adapun toleransi pelaksana-pelaksana kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi umumnya tergantung pada faktor-faktor sebagai berikut
a) Ekstrim-tidaknya pelanggaran norma itu.
b) Keadaan situasi sosial pada ketika pelanggaran norma itu terjadi.
c) Status dan reputasi individu yang ternyata melakukan pelanggaran dan
d) Asasi-tidaknya nilai moral-yang terkandung di dalam norma-yang terlanggar.
0 komentar:
Posting Komentar